BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Studi – studi tentang gender saat
ini melihat bahwa ketimpangan gender terjadi akibat rendahnya
kualitas sumberdaya kaum perempuan sendiri,
dan hal tersebut mengakibatkan ketidakmampuan mereka bersaing dengan kaum
lelaki. Oleh karena itu berbagai upaya yang harus dilakukan oleh semua aspek
tentunya menjadi penentu apakah gender di Indonesia masih ada ketimpangan atau
sudah dapat berjalan sesuai dengan konsepnya.
Realitas yang kita jumpai pada
masyarakat tertentu terdapat adat kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan
melarang keikutsertaan perempuan dalam pendidikan formal. Bahkan ada nilai yang
mengemukakan bahwa “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya
ke dapur juga.” Ada pula anggapan seorang
gadis harus cepat-cepat menikah agar tidak menjadi perawan tua. Paradigma
seperti inilah yang menjadikan para perempuan menjadi terpuruk dan dianggap
rendah kaum laki-laki.
Dalam rangka
menjawab semua persoalan ini, maka sangat bermanfaat jika penulis membahas tentang
Gender dalam eksistensinya dan Gender dalam perspektif islam, sosial budaya,
dan pendidikan.
Konsep Gender diera baru |
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian Gender dan
eksistensinya?
2.
Apa kategori gender dalam
perspektif islam?
3.
Apa kategori gender dalam
perspektif sosial budaya?
4.
Apa kategori gender dalam
perspektif pendidikan?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui tentang pengertian
Gender dan eksistensinya.
2.
Untuk mengetahui tentang gender
dalam perspektif islam.
3.
Untuk mengetahui tentang gender
dalam perspektif sosial budaya.
4.
Untuk mengetahui tentang gender
dalam perspektif pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Gender dan Eksistensinya
Hal penting yang perlu dilakukan
dalam kajian gender adalah memahami perbedaan konsep gender dan seks (jenis
kelamin). Kesalahan dalam memahami makna gender merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan sikap menentang atau sulit bisa menerima analisis gender dalam
memcahkan masalah ketidakadilan sosial.
Seks adalah perbedaan laki-laki dan
perempuan yang berdasar atas biologis dan merupakan kodrat Tuhan.[1]
Menurut Mansour Faqih, sex berarti jenis kelamin yang merupakan penyifatan atau
pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis
kelamin tertentu. Perbedaan anatomi biologis ini tidak dapat diubah dan
bersifat menetap, kodrat dan tidak dapat ditukar. Oleh karena itu perbedaan
tersebut berlaku sepanjang zaman dan dimana saja.[2]
Sedangkan gender, secara etimologis gender berasal dari kata
gender yang berarti jenis kelamin. Tetapi Gender
merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan biologis
dan bukan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh laki-laki maupun
perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang. [3]
Dalam batas perbedaan yang paling sederhana, seks dipandang
sebagai status yang melekat atau bawaan sedangkan gender sebagai status yang
diterima atau diperoleh.
Mufidah dalam Paradigma
Gender mengungkapkan bahwa pembentukan
gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan
dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi
agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan. [4]
Gender
merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara
laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih
egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan
sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan
perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang
dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada
perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya
saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak
perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk
mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat
dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah
diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan
dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
Di Indonesia, perempuan telah
diberi peluang yang sama dengan laki-laki di bidang pendidikan, namun persepsi
masyarakat terhadap perempuan tidak mengalami perubahan yang berarti. Masih
kuatnya anggapan bahwa pendidikan pada wanita tujuannya adalah agar ia lebih
mampu mendidik anak-anaknya. Perempuan tetap saja dianggap the second sex.
Perempuan 'direndahkan' ketika ia
hanya di rumah dan 'dieksploitasi' ketika mereka berada di tempat kerja.
Persepsi demikian tidak hanya dianut kalangan awam, juga cendekiawan, dan yang
lebih memprihatinkan pemerintah juga menjustifikasi persepsi tersebut dalam kebjakan
pembangunan, yang diungkapkan dalam panca tugas wanita: sebagai istri dan
pendamping suami, sebagai pendidik dan pembina generasi muda, sebagai pekerja
yang menambah penghasilan negara dan sebagai anggota organisasi masyarakat,
khususnya organisasi perempuan dan organisasi sosial. Tak terungkap tegas apa
peran-peran seorang laki-laki.
Bila kita tinjau permasalahan
gender di Indonesia, sampai sekarang pandangan mengenai perempuan sebagai ibu
rumah tangga masih teramat kuat, sehingga baik pemerintah maupun media massa
terus-menerus berbicara tentang peran ganda, padahal menurut Budiman, jika
wanita masih harus membagi hidupnya menjadi dua, satu di sektor domestik dan
satu lagi di sektor publik, maka menurutnya laki-laki yang mencurahkan
perhatian sepenuhnya pada sektor publik akan selalu memenangkan persaingan di
pasaran tenaga kerja.
Tampaknya mustahil untuk mengatasi
permasalahan gender ini hanya dari sudut pandang wanita, atau dengan perkataan
lain hanya dengan berusaha merubah wanita sebagai individu, dan juga masalah
tidak akan selesai hanya dengan menyalahkan laki-laki, namun penting untuk
memahami laki-laki secara empatik, apa permasalahannya, bagaimana kaitannya
dengan struktur patriarchi masyarakat, yang tentunya terkait dengan budaya dari
suatu masyarakatnya.
Pada dasarnya semangat hubungan antara laki-laki dan perempuan
dalam Islam bersifat adil (equal). Oleh karena itu subordinasi terhadap
kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang berkembang di masyarakat yang
tidak sesuai atau bertentangan dengan semangat keadilan yang diajarkan Islam.
Konsep kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam al-
Qur’an, antara lain sebagai berikut:
Pertama, laki laki dan perempuan adalah
sama-sama sebagai hamba. Tercantum dalam QS. Az- Zariyat: 56, yang artinya
sebagai berikut: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembahku”.
Dalam kapasitasnya sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk
menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam
al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertakwa (muttaqin).
Kedua, Laki-laki dan perempuan sebagai
khalifah di bumi. Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah
di samping untuk menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada
Allah, juga untuk menjadi khalifah di bumi, sebagaimana tersurat dalam Alqur’an
(Al-An’am: 165), yang artinya sebagai berikut: “Dan dialah yang menjadikan
kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kalian atas
sebahagian yang lain beberapa derjat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikanNya kepada kalian. Sesungguhnya Tuhan kalian amat cepat siksaanNya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ketiga, Laki-laki dan Perempuan menerima
perjanjian primordial. Menjelang sorang anak manusia keluar dari rahim ibunya,
ia terlebih dahulu harus menerima perjanj-ian dengan Tuhannya. Disebutkan dalam
Alqur’an (Al-A’raf: 172), yang artinya sebagai berikut: “Dan ingatlah ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) Bukankah Aku ini
TuhanMu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.(Kami
lakukan). Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keesaan Tuhan)”.
Dalam Islam tanggung jawab individual dan kemandirian berlangsung
sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah manusia dalam
Islam tidak dikenal adanya diskriminasi kelamin. Laki-laki dan perempuan
sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.
Keempat, Laki-laki dan perempuan
berpotensi meraih prestasi. Tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan
untuk meraih peluang prestasi. Disebutkan dalam Alquran (Al-Nisa: 124), yang
artinya sebagai berikut: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik
laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke
dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”.
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan konsep kesetaraan yang ideal dan
memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual
maupun urusan karir profesional, tidak mesti dimonopoli oleh satu jenis kelamin
saja.
Menurut Nasaruddin Umar, Islam memang mengakui adanya perbedaan (distincion)
antara laki-laki dan perempuan, tetapi bukan perbedaan (discrimination).
Perbedaan tersebut didasarkan atas kondisi fisik-biologis perempuan yang
ditakdirkan berbeda dengan laki-laki, namun perbedaan tersebut tidak
dimaksudkan untuk memuliakan yang satu dan merendahkan yang lainnya.[5]
Ajaran Islam tidak secara skematis membedakan faktor-faktor perbedaan
laki-laki dan perempuan, tetapi lebih memandang kedua insan tersebut secara
utuh. Antara satu dengan lainnya secara biologis dan sosio kultural saling
memerlukan dan dengan demikiann antara satu dengan yang lain masing-masing
mempunyai peran.
Boleh jadi dalam satu peran dapat dilakukan oleh keduanya, seperti
perkerjaan kantoran, tetapi dalam peran-peran tertentu hanya dapat dijalankan
oleh satu jenis, seperti; hamil, melahirkan, menyusui anak, yang peran ini
hanya dapat diperankan oleh wanita. Di lain pihak ada peran-peran tertentu yang
secara manusiawi lebih tepat diperankan oleh kaum laki-laki seperti pekerjaan yang memerlukan tenaga dan otot
lebih besar.[6]
Dengan demikian dalam perspektif normativitas Islam, hubungan
antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Tinggi rendahnya kualitas
seseorang hanya terletak pada tinggi-rendahnya kualitas pengabdian dan
ketakwaannya kepada Allah swt. Allah memberikan
penghargaan yang sama dan setimpal kepada manusia dengan tidak
membedakan antara laki-laki dan perempuan atas semua amal yang dikerjakannya.
Dari penjelasan diatas, Islam menanggapi gender sebagai suatu fenomena sosial, yang mana antara laki-laki dengan perempuan mempunyai peran
saling melengkapi satu sama lain dan memiliki kedudukan yang setara, sehingga antara
laki-laki dan perempuan akan bekerjasama untuk menuju keharmonisan dalam
kehidupan sosial.
C. Gender Dalam Perspektif Sosial Budaya
Struktur sosial budaya adalah segala bentuk
sikap, perilaku dan reaksi seseorang atau sekelompok orang terhadap
lingkungannya. Budaya adalah hasil daya cipta, rasa dan karsa manusia untuk
mempermudah hidup dan kehidupan manusia. Jadi, struktur sosial-budaya dapat
berubah karna tidak bersifat kodrati.
Dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat kita
pada umumnya sudah terbiasa melihat laki-laki yang bekerja di luar sedangkan
perempuan bekerja dirumah saja. Suatu konstruksi sosial seperti ini bisa saja
dibalikkan, tergantung dari kemampuan dari si suami dan si istri, apakah si
suami yang mampu bekerja diluar ataukah si istri. Mengingat bahwasanya hubungan
suami istri merupakan hubungan kemitraan yang saling melengkapi satu sama lain.
Namun sekali lagi, kondisi budaya
seperti itu dapat dibalik sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak,
yang jelas perbedaan perilaku antara pria dan wanita, selain disebabkan oleh
faktor biologis sebagian besar justru terbentuk melalu proses sosial dan
cultural. Oleh karena itu gender dapat berubah dari tempat ketempat, waktu ke
waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat.[7]
Meski dipahami bahwa semuanya dapat
dibalik, akan tetapi tidak semua aktivitas dapat bertukar peran antara
laki-laki dan perempuan, namun semampang aktivitas tersebut tidak terkait
dengan kondisi biologis jenis kelamin, maka sebenarnya dapat terjadi tukar
peran antara jenis kelamin yang berbeda.
Kondisi inilah yang tampak belum
secara arif dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat kita, dan budaya pada
akhirnya menguatkannya dan menjadikan sesuatu yang sakral. Hingga pada
akhirnya, akan terlihat canggung tatkala ada seorang bapak yang menggendong
anaknya, sementara sang ibu berjalan lenggang, atau sulit terjadi dalam
teks-teks buku bahasa Indonesia dicontohkan perilaku seperti, ibu membaca
koran, ayah memasak di dapur.
Padahal kondisi itu telah secara
empirik ada dalam masyarakat kita, meski persentasenya belum banyak. Pada
akhirnya disadari bahwa budaya memainkan peran penting dalam kontruksi gender
seseorang.
Beberapa contoh hasil temuan
penelitian mengungkapkan begitu besarnya peran budaya pada konstruksi gender
yang dimilliki seseorang. Sebut saja penelitian yang dilakukan oleh Maccoby dan
Jacklin (1974) bahwa laki-laki lebih baik dalam bidang matematika dan
tugas-tugas yang membutuhkan pemikiran, sementara perempuan lebih baik dalam
hal tugas-tugas yang berkaitan dengan pemahaman verbal.
D. Gender Dalam Perspektif Pendidikan
Keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama
peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat,
bernegara dan membangun keluarga berkualitas. Jumlah penduduk
perempuan hampir setengah dari seluruh penduduk Indonesia dan merupakan potensi
yang sangat besar dalam mencapai kemajuan dan kehidupan yang lebih berkualitas.
Kesetaraan Gender, kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan & keamanan nasional (hankamnas), bahkan pendidikan juga memiliki
kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Keadilan gender suatu perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki.
Perbedaan biologis tidak bisa dijadikan dasar untuk terjadinya diskriminasi
mengenai hak sosial, budaya, hukum dan politik terhadap satu jenis kelamin
tertentu.
Sedangkan
gender dalam perspektif pendidikan maka pendidikan di Indonesia harus mampu menghantarkan
setiap individu atau rakyat mendapatkan pendidikan sehingga bisa disebut
pendidikan kerakyatan. Sebagaimana Athiyah, Wardiman Djojonegoro menyatakan
bahwa ciri pendidikan kerakyatan adalah perlakuan dan kesempatan yang sama
dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat ekonomi, sosial,
politik, agama dan lokasi geografis publik.
Dalam
kerangka ini, pendidikan diperuntukkan untuk semua, minimal sampai pendidikan
dasar. Sebab, manusia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang
layak. Apabila ada sebagian anggota masyarakat, sebodoh apapun yang tersingkir
dari kebijakan kependidikan berarti kebijakan tersebut telah meninggalkan sisi
kemanusiaan yang setiap saat harus diperjuangkan.[8]
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, bahwa nilai kemanusiaan terwujud dengan adanya
pemerataan yang tidak mengalami bias gender. Masalah pendidikan, antara anak
perempuan dan anak laki-laki hendaknya harus seimbang. Anak perempuan,
sebagaimana anak laki-laki harus punya hak/kesempatan untuk sekolah lebih
tinggi. Bukan menjadi alternative kedua jika kekurangan biaya untuk sekolah.
Hal
ini dengan pertimbangan adanya penghambur-hamburan uang sebab mereka akan
segera bersuami, peluang kerjanya kecil dan bisa lebih banyak membantu orang
tua dalam pekerjaan rumah.
Faktor
lain yang dapat menghambat akses perempuan terhadap pendidikan tingkat atas dan
tinggi adalah jumlah sekolah yang terbatas, dan jarak tempuh yang jauh diduga
lebih membatasi anak perempuan untuk bersekolah dibandingkan laki-laki.
Perkawinan dini juga menjadi faktor yang sangat dominan mengapa perempuan tidak
melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi. [9]
Pendirian
seperti ini melanggar etika Islam yang memperlakukan orang dengan standar yang
materialistik. Islam menyerukan adanya kemerdekaan, persamaan dan kesempatan
yang sama antara yang kaya dan yang miskin dalam bidang pendidikan di samping
penghapusan sistem-sistem kelas-kelas dan mewajibkan setiap muslim laki-laki
dan perempuan untuk menuntut ilmu serta memberikan kepada setiap muslim itu
segala macam jalan untuk belajar, bila mereka memperlihatkan adanya minat dan
bakat.
Dengan
demikian, pendidikan kerakyatan seharusnya memberikan mata pelajaran yang
sesuai dengan bakat dan minat setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan
pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga melainkan juga masalah pertanian
dan keterampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua
bidang tersebut akan menjadikan nilai yang amat besar-merupakan langkah awal
untuk memperjuangkan persamaan yang sesungguhnya.
Pendidikan
memang harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan zaman yaitu
kualitas yang memiliki keimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh,
mengenali, menghayati dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan
komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan mutakhir, mampu
mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada
hal-hal yang baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi dan
berusaha meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan
agar mendapatkan kualitas tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.
Ungkapan
Athiyah tentang pendidikan perempuan seakan menyadari kondisi riil historisitas
kaum muslimin yang secara sosial perempuan seringkali dirugikan oleh perilaku
sosialnya. Seperti gadis-gadis harus putus sekolah karena diskriminasi gender
(sebab pernikahan atau hamil diluar nikah) atau karena keterbatasan ekonomi
anak laki-laki mendapatkan prioritas utama walau potensinya tidak lebih tinggi
daripada anak perempuan.
Namun
yang jelas menurut Athiyah, ketika sungguh-sungguh menerapkan sistem
pendidikan, maka akan tercipta persamaan derajat antara laki-laki dan
perempuan, hal inilah menjadi tugas kita semua sampai saat ini.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa:
1.
Harus dibedakan antara seks dan gender, kalau seks adalah perbedaan
laki-laki dan perempuan yang berdasar atas biologis dan merupakan kodrat Tuhan.
Sedangkan gender berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin. Sedangkan
eksistensinya saat ini berbagai macam tafsir, ada yang mengatakan sudah terjadi
kesetaraan gender, namun ada pula yang bilang belum terlaksana kesetaraan
gender tersebut.
2.
Gender dalam perspektif islam
maksudnya ialah Islam dalam kitab sucinya menanggapi gender sebagai suatu
fenomena sosial, yang mana antara laki-laki dengan perempuan mempunyai peran
saling melengkapi satu sama lain dan memiliki kedudukan yang setara, sehingga
antara laki-laki dan perempuan akan bekerjasama untuk menuju keharmonisan dalam
kehidupan sosial.
3.
Gender dalam perspektif sosial
budaya maksudnya bahwa budaya memainkan peran penting dalam kontruksi gender
seseorang dan lingkungannya.
4.
Gender dalam perspektif pendidikan
maksudnya adalah sampai saat ini masih banyak perempuan yang tidak melanjutkan
sekolahnya dengan berbagai alasan, karena dia sudah menyangka bahwa dirinya
tidak akan mampu. Untuk mengatasi problem gender dalam dunia pendidikan mungkin
bisa diterapkan pendidikan kerakyatan.
B.
Saran
Kita semuanya
harus bisa menjadi pelopor kesetaraan gender, karena bagaimanapun juga dalam
agama kita derajat antara laki-laki dan perempuan itu sama, disamping itu pula
sudah ada pahlawan yang menjadi benteng pendobrak kesetaraan gender, jadi para
kaum wanita, marilah kita setarakan derajat kita dengan kaum laki-laki.
Daftar Pustaka
Ace Suryadi dan Ecep Idris, Kesetaraan
Gender dalam Bidang Pendidikan, cet. I (Bandung: Genesindo, 2004).
Eni Purwati dan Hanun Asrohah, Bias
Gender dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Alpha, 2005).
Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar
Inggris-Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Mansour Faqih, Analisis gender
dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.
Mansour Faqih, Gender Sebagai Alat Analisis
Sosial, Edisi 4 November 1996.
Mufidah Ch, Paradigma Gender, Malang:
Bayumedia Publishing, 2003.
Nasarudin Umar, Argumen
Kesetaraan Gender : Perspektif al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 2001.
Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam
Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan
Gender, 1999.
[1] Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender :
Perspektif al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 2001, hal. 1.
[2] Mansour Faqih, Analisis gender dan
Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, hal.8.
[3] Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar
Inggris-Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal 23.
[4] Mufidah Ch, Paradigma Gender, Malang:
Bayumedia Publishing, 2003, hal. 4-6.
[5] Nasaruddin Umar, Kodrat
Perempuan dalam Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999, hal. 23.
[6] Ibid, hal 24
[8] Eni Purwati dan Hanun Asrohah, Bias Gender
dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Alpha, 2005), 30.
[9] Ace Suryadi dan Ecep Idris, Kesetaraan
Gender dalam Bidang Pendidikan, cet. I (Bandung: Genesindo, 2004), hal.19
No comments:
Post a Comment