BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber
nilai bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan
bernegara, maksudnya sumber acuan dalam bertingkah laku dan bertindak dalam
menentukan dan menyusun tata aturan hidup berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai
Pancasila merupakan nilai-nilai yang digali, tumbuh dan berkembang dari budaya
bangsa Indonesia, sehingga menjadi ideologi yang tidak diciptakan oleh bangsa
lain.
Menjadikan
Pancasila sebagai ideology juga merupakan sumber nilai, sehingga Pancasila
merupakan asas kerokhanian bagi tertib hukum Indonesia, dan meliputi suasana
kebatinan (Geistlichenhintergrund) dari UUD 1945 serta mewujudkan cita-cita
hokum bagi hokum dasar negara.
Pancasila mengharuskan UUD mengandung isi yanag mewajibkan
pemerintah untuk memelihara serta menjaga budi pekerti kemanusiaan dan
cita-cita moral rakyat yang luhur.
Pancasila sering digolongkan ke dalam ideologi tengah di antara dua ideologi
besar dunia yang paling berpengaruh, sehingga sering disifatkan bukan ini dan
bukan itu. Pancasila bukan berpaham komunisme dan bukan berpaham kapitalisme.
Pancasila tidak berpaham individualisme dan tidak berpaham kolektivisme. Bahkan
bukan berpaham teokrasi dan bukan berpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah
yang merepotkan aktualisasi nilai-nilainya ke dalam kehidupan praksis berbangsa
dan bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul
jam) yang selalu bergerak ke kanan dan ke kiri secara seimbang tanpa pernah
berhenti tepat di tengah.
Pada saat berdirinya negara Republik
Indonesia, kita sepakat mendasarkan diri pada ideologi Pancasila dan UUD 1945
dalam mengatur dan menjalankan kehidupan negara. Namun sejak Nopember 1945
sampai sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah Indonesia mengubah haluan
politiknya dengan mempraktikan sistem
demokrasi liberal.Dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum bergeser ke
kanan. Pemerintah Indonesia menjadi pro Liberalisme.Deviasi ini dikoreksi
dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Dengan keluarnya Dekrit Presiden
ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya di samping
kanan digeser dan digerakan ke kiri.Kebijakan ini sangat menguntungkan dan
dimanfaatkan oleh kekuatan politik di Indonesia yang berhaluan kiri (baca:
PKI)
Hal ini tampak pada
kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap Barat (kapitalisme) dan pro ke Kiri
dengan dibuatnya poros Jakarta-Peking dan Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya adalah
peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu
tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.Soekarno) dan berkuasanya pemerintahan
Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah
Orde Baru berusaha mengoreksi segala penyimpangan yang dilakukan oleh
regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru
merubah haluan politik yang tadinya mengarah ke posisi Kiri dan anti Barat
menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde Barupun akhirnya dianggap
penyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke
praktik Liberalisme-kapitalistik dalam menggelola negara. Pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yang
dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah
tumbangnya regim Orde Baru telah muncul 4 regim Pemerintahan Reformasi sampai
saat ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya mampu
memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila dan UUD
1945 dalam praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru. Untuk itu harus didasari dengan pemahaman dasar –
dasar yuridis tujuan. Pendidikan Nasional, Pendidikan Pancasila serta
kompetensi yang diharapkan dari kuliah Pendidikan Pancasila.
Perkembangan masyarakat
dunia yang semakin cepat secara langsungataupun tidak langsung mengakibatkan
perubahan besar pada berbagai bangsa didunia. Gelombang besar kekuatan
internasional dan transnasional melalui
globalisasi
telah mengancam, bahkan mengasai eksistensi Negara-negara kebangsaan, termasuk Indonesia.
Akibat yang langsung terlihat adalah terjadinya
pergeseran
nilai-nilai dalam kehidupan kebangsaan karena adanya perbenturan tara nasionalisme dan
internasionalisme. Permasalahan
kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia menjadi semakin kompleks dan rumit manakala ancaman
inter nasional yang terjadi di satu sisi,
pada
sisi yang lain muncul masalah internal, yaitu maraknya tuntutan rakyat, yang
secara
objektif mengalami suatu kehidupan yang jauh dari kesejahteraan dan keadilan sosial.
Paradoks antara
kekuasaan global dengan kekuasaan nasional ditambah komplik internal seperti gambaran
di atas, mengakibatkan suatu tarik menarik
kepentingan
yang secara langsung mengancam jati diri bangsa. Nilai-nilai baru yang masuk, baik secara sujektif
maupun objektif, serta terjadinya pergeseran
nilai
di tengah masyarakat yang pada akhirnya mengancam-prinsip-prinsip hidup berbangsa masyarakat Indonesia. Prinsip dasar yang telah ditemukan
oleh peletak dasar ( The founding
fathers
) Negara Indonesia yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat bernegara, itulah
pancasila.
Dengan pemahaman
demikian, maka pancasila
sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia saat ini mengalami ancaman dengan munculnya nilai-nilai baru
dari luar dan pergeseran nilai-nilai yang
terjadi. Secara ilmiah harus disadari bahwa
suatu masyarakat suatu bangsa, meliki
suatu pandangan hidup atau filsaat hidup masing-masing, yang berbeda dengan bangsa lain
didunia. Inilah yang disebut sebagai local
genius
(kecerdasan / kreatifitas lokal ) dan sekaligus sebagai local wisdom (kearifan local) bangsa. Dengan
demikian, bangsa Indonesia tidak mungkin
memiliki
kesamaan pandangan hidup dan filsafat hidup dengan bangsa lain. Ketika para pendiri Negara Indonesia
menyiapkan berdirinya Negara eka,
mereka sadar sepenuhnya untuk menjawab suatu pertanyaan yang fundamental “ di atas dasar
apakah Negara Indonesia merdeka ini
atas
pertanyaan mendasar ini akan selalu menjadi dasar dan tolak ukur utama bangsa ini meng-Indonesia.
Dengan kata lain, jati diri bangsa
selalu
bertolak ukur pada nilai-nilai pancasila sebagai filsafat bangsa. Pancasila yang terdiri atas lima
sila pada hakikatnya merupakan sistim
haman
demikian memerlukan pengkajian lebih lanjut menyangkut aspek ontology,
epistemology, dan aksiologi dari kelima sila pancasila. Lalu, Pancasila
ditetapkan dalam Pembukaan UUD sebagai dasar negara Republik Indonesia, seperti
berikut:
“... maka disusunlah Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang
terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.
BAB II
PEMBAHASAN
TRANSFORMASI NILAI-NILAI PANCASILA
Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila
Alfred North Whitehead
(1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa semua realitas
dalam alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu dinamik dan
suatu proses yang terus menerus “menjadi”, walaupun unsur permanensi realitas
dan identitas diri dalam perubahan tidak
boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat pula dikenakan pada ideologi Pancasila sebagai suatu realitas
(pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan
dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ? dan, unsur nilai
Pancasila manakah yang mesti harus kita
pertahankan tanpa mengenal perubahan ?
Moerdiono (1995/1996)
menunjukkan adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu
adalah:
Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap,
yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu.Nilai dasar merupakan prinsip, yang
bersifat amat abstrak, bersifat amat
umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan kebenaran yang bagaikan aksioma. Dari segi kandungan
nilainya, maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup
cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila
ditetapkan oleh para pendiri negara.Nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari
sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat, maupun dari
cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga
masyarakat.
Kedua, nilai
instrumental, yaitu suatu nilai yang
bersifat kontekstual. Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang
merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi
tertentu. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai
instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran
itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk
mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai
dasar itu.Dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan
kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga
proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang
berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.
Ketiga, nilai
praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa
cara bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai
praksis terdapat pada demikian banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila,
baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, oleh
organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan
kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi
kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara
idealisme dan realitas.
Jika
ditinjau dari segi pelaksanaan nilai yang dianut, maka sesungguhnya pada nilai
praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental
itu. Ringkasnya bukan pada rumusan abstrak, dan bukan juga pada kebijaksanaan,
strategi, rencana, program atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir
dari nilai yang dianut, tetapi pada kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi
suatu ideologi, yang paling penting adalah bukti pengamalannya atau
aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu
ideologi dapat mempunyai rumusan yang amat ideal dengan ulasan yang amat
logis serta konsisten pada tahap nilai
dasar dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika pada nilai praksisnya
rumusan tersebut tidak dapat diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan
kehilangan kredibilitasnya.Bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa
bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi adalah menjaga konsistensi antara
nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah barang tentu jika
konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak
akan ada masalah. Masalah baru timbul jika terdapat inkonsisitensi dalam tiga
tataran nilai tersebut.
Untuk menjaga konsistensi
dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam praktik hidup berbangsa dan
bernegara, maka perlu Pancasila formal yang abstrak-umum-universal itu
ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yang umum kolektif, dan bahkan
menjadi Pancasila yang khusus individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya,
Pancasila menjadi sifat-sifat dari subjek kelompok dan individual, sehingga
menjiwai semua tingkah laku dalam lingkungan praksisnya dalam bidang
kenegaraan, politik, dan pribadi.
Driyarkara menjelaskan
proses pelaksanaan ideologi Pancasila, dengan gambaran gerak transformasi
Pancasila formal sebagai kategori tematis
(berupa konsep, teori) menjadi kategori
imperatif (berupa norma-norma) dan kategori operatif (berupa praktik hidup). Proses tranformasi
berjalan tanpa masalah apabila tidak terjadi deviasi atau penyimpangan, yang
berupa pengurangan, penambahan,dan penggantian (dalam Suwarno, 1993: 110- 111).
Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara haruslah diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab
Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan dan ingin
diwujudkan.
Masalah aktualisasi
nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis kemasyarakatan
dan kenegaraan bukanlah masalah yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: 2-3)
mensinyalir, bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan yang mendasar dalam cara orang
memahami dan menghayati Negara Pancasila dalam berbagai seginya. Kiranya tidak
tepat membuat “sakral” dan taboo berbagai konsep dan pengertian, seakan-akan
sudah jelas betul dan pasti benar, tuntas dan sempurna, sehingga tidak boleh
dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu membuat berbagai konsep dan pengertian
menjadi statik, kaku dan tidak berkembang, dan mengandung resiko ketinggalan
zaman, meskipun mungkin benar bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai
nilai yang tetap dan abadi. Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila
secara konsisten dalam tataran praksis perlu terus menerus diadakan perubahan, baik dalam arti konseptual maupun
operasional. Banyak hal harus ditinjau kembali dan dikaji ulang. Beberapa
mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut
dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan.
Aktualisasi nilai Pancasila
dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan
dari dalam dan melalui sistem yang ada. Atau dengan kata lain, pembaharuan
mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan
pendekatan teori Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila sebagai pengada
(realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi dalam
pengertian ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) untuk
dapat berubah. Subjek sendiri yang berubah dari dalam. Mirip dengan teori
A.N.Whitehead, setiap satuan aktual (sebagai aktus, termasuk Pancasila)
terkandung daya kemungkinan untuk berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau
kemungkinan objektif, seperti batu yang dapat dipindahkan atau pohon yang dapat
dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai realitas merupakan
sumber daya untuk proses ke-menjadi-an yang selanjutnya. Jika dikaitkan dengan
aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan hukum dan
perundang-undangan pada segala tingkatan, sebagai aktualisasi nilai Pancasila
(transformasi kategori tematis menjadi kategori imperatif), harus terbuka
terhadap peninjauan dan penilaian atau pengkajian tentang keterkaitan dengan
nilai dasar Pancasila.
Untuk melihat transformasi
Pancasila menjadi norma hidup sehari-hari dalam bernegara orang harus
menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yang berkaitan dengan negara, yang
meliputi; wilayah, warganegara, dan pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya,
untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang harus
menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan dengan bangsa
Indonesia, yang meliputi; faktor-faktor integratif dan upaya untuk menciptakan
persatuan Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila
ke-1, ke-2, dan ke-5 yang berkaitan dengan hidup keagamaan, kemanusiaan dan
sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126).
Perubahan dan Kebaharuan
Pembaharuan dan perubahan bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja,
yaitu akibat yang timbul dari dalam, melainkan bisa terjadi karena pengaruh
dari luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) dalam aktualisasi nilai
Pancasila tidaklah semata-mata disebabkan kemampuan dari dalam (potensi) dari
Pancasila itu sendiri, melainkan suatu peristiwa yang terkait atau berrelasi
dengan realitas yang lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada
aktivitas di dalam menyerap atau menerima dan menyingkirkan atau menolak
nilai-nilai atau unsur-unsur dari luar (asing). Contoh paling jelas dari
terjadinya perubahan transformatif dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, adalah empat kali amandemen
UUD 1945 yang telah dilakukan MPR pada tahun 1999, 2000, 2001, dan tahun 2002.
Akibat kemajuan ilmu dan
teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah perubahan pola hidup
masyarakat yang begitu cepat. Tidak satupun bangsa dan negara mampu mengisolir
diri dan menutup rapat dari pengaruh budaya asing. Demikian juga terhadap
masalah ideologi. Dalam kaitan imi, M.Habib Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan,
bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan menimbulkan kebimbangan,
terutama didukung oleh kenyataan masuknya arus budaya asing dengan berbagai
aspeknya. Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi komunikasi & transportasi
ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat dan luas. Kondisi ini di satu
pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang mengikat kepentingan nasional tidak
luput dari pengaruhnya dan dapat menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada
semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini, teknologi sebagai bagian budaya manusia telah
jauh mempengaruhi tata kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan
semacam ini, tidak mustahil tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang tidak
selalu sejalan dengan tumbuhnya faham kebangsaan.Beberapa informasi dalam
berbagai ragam bentuk dan isinya tidak dapat selalu diawasi atau dicegah begitu
saja.Mengingkari dan tidak mau tahu “tawaran” atau pengaruh nilai-nilai asing
merupakan kesesatan berpikir, yang seolah-olah menganggap bahwa ada eksistens yang bisa berdiri sendiri.
Kesalahan berpiklir demikian oleh Whitehead disebut sebagai the fallacy of misplace concretness (Damardjati
Supadjar, 1990: 68). Jika pengaruh itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat, atau tidak mendukung bagi terciptanya kondisi yang
sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan sikap yang kritis terutama
terhadap gagasan-gagasan, ide-ide yang datang dari luar.
Dalam konteks budaya,
masalah pertemuan kebudayaan bukan masalah memfilter atau menyaring budaya
asing, tetapi mengolah dan mengkreasi dalam interaksi dinamik sehingga tercipta
sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik adalah sesuatu yang harus
terus menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja,
1996: 11). Kalau ideologi-ideologi besar di dunia sekarang ini diperhatikan
dengan seksama, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga
ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan
dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman menuntut bahwa
ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru dengan corak nilai, ajaran
dan konsep kunci mengenai kehidupan yang memiliki perspektif baru. Ideologi
Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila harus mampu menghadapi pengaruh
budaya asing, khususnya ilmu dan teknologi modern dan latar belakang
filsafatnya yang berasal dari luar.
Prof. Notonagoro telah
menemukan cara untuk memanfaatkan pengaruh dari luar tersebut, yaitu secara
eklektif mengambil ilmu pengetahuan dan ajaran kefilsafatan dari luar tersebut,
tetapi dengan melepaskan diri dari sistem filsafat yang bersangkutan dan
selanjutnya diinkorporasikan dalam struktur filsafat Pancasila. Dengan
demikian, terhadap pengaruh baru dari luar, maka Pancasila bersifat terbuka
dengan syarat dilepaskan dari sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yang
serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34).
Sepaham dengan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan
Pancasila sebagai struktur atau sistem yang terbuka dinamik, yang dapat
menggarap apa yang datang dari luar, dalam arti luas, menjadi miliknya tanpa
mengubah identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mempengaruhi dan mengkreasi.
Dinamika Pancasila
dimungkinkan apabila ada daya refleksi yang mendalam dan keterbukaan yang
matang untuk menyerap, menghargai, dan memilih nilai-nilai hidup yang tepat dan
baik untuk menjadi pandangan hidup bangsa bagi kelestarian hidupnya di masa mendatang. Sedangkan penerapan atau
penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tersebut berdasar pada relevansinya.
Dalam konteks hubungan internasional dan pengembangan ideologi, bukan hanya
Pancasila yang menyerap atau dipengaruhi oleh nilai-nilai asing, namun nilai-nilai
Pancasila bisa ditawarkan dan berpengaruh, serta menyokong kepada kebudayaan
atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14) menjelaskan,
bahwa dinamika yang ada pada aktualisasi Pancasila memungkinkan bahwa Pancasila
juga tampil sebagai alternatif untuk melandasi tata kehidupan internasional,
baik untuk memberikan orientasi kepada negara-negara berkembang pada khususnya,
maupun mewarnai pola komunikasi antar negara pada umumnya.
Ideologi Pancasila bukanlah
pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional dan
kritis agar membuka iklim hidup yang bebas dan rasional pula. Konsekuensinya,
bahwa Pancasila harus bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yang
terjadi dalam kehidupan manusia dan tidak menutup diri terhadap nilai dan
pemikiran dari luar yang memang diakui menunjukkan arti dan makna yang positif
bagi pembinaan budaya bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses
akulturasi sebagai gejala wajar. Dengan begitu ideologi Pancasila akan menunjukkan
sifatnya yang dinamik, yaitu memiliki kesediaan untuk mengadakan pembaharuan
yang berguna bagi perkembangan pribadi manusia dan masyarakat. Untuk menghadapi
tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara
kreatif dan dinamik. Kreativitas dalam konteks ini dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk menyeleksi nilai-nilai baru dan mencari alternatif bagi
pemecahan masalah-masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, dan pertahanan
keamanan. Ideologi Pancasila tidak a priori menolak bahan-bahan baru dan
kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai yang dipertimbangkan
dapat memperkaya dan memperkembangkan kebudayaan sendiri, serta mempertinggi
derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa Indonesia,
sebagai pengemban ideeologi Pancasila, tidak defensif dan tertutup sehingga
sesuatu yang berbau asing harus ditangkal dan dihindari karena dianggap
bersifat negatif. Sebaliknya tidak diharapkan bahwa bangsa Indonesia menjadi
begitu amorf, sehingga segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima secara buta
tanpa pedoman untuk menentukan mana yang pantas dan mana yang tidak pantas
untuk diintegrasikan dalam pengembangan
dirinya.
Bangsa Indonesia mau tidak
mau harus terlibat dalam dialog dengan bangsa-bangsa lain, namun tidak
tenggelam dan hilang di dalamnya. Proses akulturasi tidak dapat dihindari.
Bangsa Indonesia juga dituntut berperan aktif dalam pergaulan dunia.Bangsa
Indonesia harus mampu ikut bermain dalam interaksi mondial dalam menentukan arah
kehidupan manusia seluruhnya. Untuk bisa menjalankan peran itu, bangsa Indonesia sendiri harus mempunyai
kesatuan nilai yang menjadi keunikan bangsa, sehingga mampu memberikan
sumbangan yang cukup berarti dalam percaturan internasional. Identitas diri
bukan sesuatu yang tertutup tetapi sesuatu yang terus dibentuk dalam interaksi
dengan kelompok masyarakat bangsa, negara, manusia, sistem masyarakat dunia
(Sastrapratedja, 1996: 3). Semuanya itu mengharuskan adanya strategi kebudayaan
yang mampu neneruskan dan mengembangkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam
segala aspek kehidupan bangsa.
Abdulkadir Besar (1994: 35)
menawarkan pelaksanaan “strategi dialogi antar budaya” dalam menghadapi gejala
penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya, membiarkan budaya asing
yang mengglobal berdampingan dengan
budaya asli. Melalui interaksi yang terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan pelajaran yang berharga. Hasil
akhir yang diharapkan dari interaksi itu adalah terpeliharanya cukup
diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman universal. Ideologi Pancasila
sebagai jati diri bangsa Indonesia, selalu harus diperbaharui secara terus
menerus, sehingga mampu memberikan pedoman, inspirasi, dan dukungan pada setiap
anggota bangsa Indonesia dalam memperkembangkan dirinya sebagai bangsa
Indonesia. Sedangkan pembaharuan yang sehat selalu bertitik tolak pada masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi
terwujudnya cita-cita di masa depan. Setiap zaman menampakkan corak
kepribadiannya sendiri, namun kepribadian yang terbentuk pada zaman yang berbeda haruslah mempunyai
kesinambungan dari masa lampau sampai masa mendatang sehingga tergambarkan
aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76). Kesinambungan tidak berarti hanya
penggulangan atau pelestarian secara persis apa yang dihasilkan di masa lampau
untuk diterapkan pada masa kini dan masa
mendatang. Unsur yang sama dan permanen maupun unsur yang kreatif dan baru,
semuanya harus dirajut dalam satu kesatuan yang integral.
Teori
hilemorfisme dari Aristoteles bisa mendukung pandangan tersebut. Aristoteles menegaskan,
bahwa meskipun materi (hyle) menjadi nyata bila dibentuk (morfe), namun materi
tidaklah pasif. Artinya ada gerak.
Setiap relitas yang sudah berbentuk (berdasar materi) dapat juga menjadi
materi bagi bentuk yang lain,sehingga setiap realitas mengalami perubahan.
Perubahan yang ada bukan kebaharuan sama sekali namun perubahan yang
kesinambungan. Artinya, aktualitas yang ada sekarang berdasar pada realitas
yang telah ada pada masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan di masa
depan.
Proklamasi kemerdekaan merupakan norma yang pertama sebagai
penjelmaan pertama dari segala sumber hukum yang menegaskan berdirinya
indonesia yaitu pancasila yang merupakan jiwa dan pandangan hidup Bangsa
Indonesia ,pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang memberikan
tujuan ,dasar dan perangkat untuk mencapai tujuan. Pembukaan merupakan
penjelmaan kedua dari pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
sekaligus merupakan pokok kaidah negara yang fundamental.,keduannya saling
melengkapi dan tidak dapat di pisahkan satu sama lain.
Sifat hubungan antara pembukaan UUD 1945 dengan proklamasi
adalah (1) memberikan penjelasan terhadap di laksanakannya Proklamasi 17
Agustus 1945, (2) memberikan pertanggungjawaban datau penegasan terhadap di
laksanakannya Proklamasi 17 Agustus 1945 bahwa perjuangan gigih menegakkan hak
kodrat dan hak moril akan kemerdekaan, (3) memberikan pertanggung jawaban
terhadap di laksanakannya Proklamasi 17 Agustus 1945.
Proklamasi kemerdakaan tanpa pembukaan negara Indonesia yang
merdeka tidak jelas tujuan dan dasarnya tetapi pembukaan saja tanpa
Proklamasi Kemerdekaan tujuan dan dasar Negara Indonesia tidak akan menjadi
kenyataan .Transformasi pancasila yang di jelma dalam Proklamasi Kemerdekaan
dan pembukaan lewat penjelasan umun UUD 1945,pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam UUD 1945 ialah pancasila.Kualitas nilai-nilai pancasila
bersifat objektif dan subjektif .Nilai –nilai dasar pancasila yaitu :
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan yang bersifat
universal, objektif artinya nilai tersebut dapat dipakai dan di akui oleh
negara-negara lain walupun tentunya tidak di beri nama pancasila.
TRANSFORMASI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERNEGARA
Meskipun sila-sila pancasila tidak dapat dipisahkan tetapi
dapat mentransformasi dalam pasal-pasal UUD 1945 pembentukan negara dalam
menciptakan pasal-pasal yang merupakan penuangan dari masing-masing sila ,sila itu di
tetapkan dengan mutlak .Sila ke -4
dengan tegas di tetapkan merupakan sila yang harus menjiwai pasal-pasal yang
terkait dengan negara,seperti di ketahui unsur ialah wilayah,warga negara dan
pemerintahan yang berdaulat .
Mengenai wilayah negara pasal-pasal UUD tidak mengatur secara
jelas ,ada dua pasal yang menyinggung secara implisit yaitu pertama ,pasal 1
ayat (1) menyatakan negara indonesia ialah negara kesatuan ,ini berarti wilayah
negara indonesia akan merupakan kesatuan wilayah yang tidak terpecah menjadi
wilayah-wilayah negara bagian. Kedua pasal 18 yang secara implisit menyebutkan
wilayah indonesia dengan kata-kata :”Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah
besar dan kecil”,meskipun wilayah indonesia merupakan suatu kesatuan wilayah negara
kesatuan ,tetapi terbagi dalam daerah-daerah besar kecil yang oleh penjelasan
disebut Propinsi dan Daerah istimewah,tidak di cantumkan batas wilayah dalam
pasal UUD itu dengan pertimbangan bahwa batas wilayah negara tidak di tentukan
oleh satu negara tetapi harus di rundingkan dan di tetapkan dalam perjanjian
internasional bersama negara-negara lain ,pertimbangan ini di tentukan oleh
sila ke dua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Warga negara yang merupakan unsur kedua di atur oleh Bab X
pasal 26,27,dan 28,dalam pasal-pasal ini di tetapkan siapa pun dapat menjadi
warga negara indonesia asal memenuhi persyaratan yang di tentukan oleh
Undang-Undang ,setiap warga negara juga memiliki hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,kemerdekaan berserikat ,mengeluarkan
pendapat secara lisan maupun tulisan juga terkandung dalam Undang –undang
Sebagian besar dari pasal-pasal UUD. Sebagian besar dari pasal-pasal UUD 1945
di gunakan untuk mengatur pemerintahan yang berdaulat ,mulai pasal 1 sampai
dengan pasal 26, pasal 37, di tambah aturan Peralihan dan aturan Tambahan,
pemerintahan negara terdiri dari lembaga-lembaga negara yang berhubungan satu
sama lain sehingga bersama-sama mewujudkan sistem pemerintahan yang mewujudkan
aila ke-4 sebagai norma hukum ,lembaga-lembaga negara di ciptakan oleh
pasal-pasal UUD 1945 Ialah MPR yang terdiri dari anggota –anggota DPR , di
tambah dengan utusan daerah dan golongan-golongan yang di tetapkan dengan
Undang- undang (pasal 2 ayat 1).MPR mempunyai wewenang melakukan kedaulatan
rakyat (pasal 1 ayat2)tetapi yang di lakukan MPR sendiri hanya menetapkan UUD
dan garis besar haluan negara (GBHN) (pasal3),memilih presiden dan wakil
presiden(pasal 6 ayat 2) ,MPR di sebut sebagi lembaga negara
tertinggi.DPR mempunyai wewenang mengajukan rancangan undang-undang (pasal 21)
dan memberikan persetujuan undang-undang yang rencananya di ajukan oleh
presiden (pasal 5 dan 20),menyetujui anggaran yang di usulkan oleh Pemerintah
(pasal 23 ayat 1). Presiden memegang kekuasaan legislatif yang pelaksanaannya
harus mendapatkan persetujuan DPR,untuk membentuk undang-undang dan penetapan
anggaran pendapatan belanja negara, kekuasaan Presiden yang yang di tetapkan
oleh pasal 10-15 merupakan konsekuensi dari jabatan Presiden sebagai kepala
negara,para mentri yang angkat dan di berhentikan oleh presiden tidak
bertanggungjawab kepada DPR tetapi bergantung kepada Presiden, mereka dalah
pembantu presiden. Dalam menjalankan tugasnya lembaga-lembaga negara bekerja
sama dan bergerak sebagai satu sistem pemerintahan yang bulat, sesuai dengan
teori integralistik, maka lembaga-lembaga itu merupakan organ-organ dari satu
sistem pemerintahan yang berusaha mewujudkan kesejahteraan rakyat indonesia
baik material maupun moral.
TRANSFORMASI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA
Konsep bangsa yang di gunakan untuk merumuskan sila ke tiga
terutama konsep E. Renan, yaitu sekelompok manusia yang mempunyai keingin
bersama untuk bersatu dan mempertahankan persatuan. Pasal-pasal yang mengtransformasikan
sila ke-3 itu orang harus mengingat unsur-unsur konsep bangsa dalam hal
keinginan bersama untuk bersatu, dalam pasal 1 ayat (1) menegaskan Negara
Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik, demikian juga pasal 30
ayat (1) menegaskan tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha membela negara,faktor-faktor penunjang
dalam hal ini berupa pengajaran nasional, kebudayaan nasional, bendera negara, dan bahasa negara,
norma-norma itulah yang harus di ikuti agar orang-orang indonesia dapat hidup
berbangasa sesuai dengan pancasila.Garis-garis yang di berikan oleh pasal-pasal
UUD tentu dapat di kembangkan lebih lanjut dengan peraturan perundangan dan
norma-norma yang hidup dalam masyarakat indonesia,sehingga hidup berbangsa
sesuai dengan Pancasila sungguh-sungguh dapat berkembang dalam indonesia modern.
TRANSFORMASI PANCASILA DALAM HIDUP BERMASYARAKAT
Hidup bermasyarakat ialah hidup bersama,kehidupan dapat di
lihat dari beberapa segi, segi ekonomi menampakkan kegiatan berproduksi,pembagian
dan penggunaan barang dan jasa,segi kehidupan politik menampakkan kekuasaan
dalam masyarakat .Unsur-unsur sosial yang pokok adalah norma-norma atau kaidah
sosial,lembaga-lembaga social kelompok-kelompok serta lapisan sosial,unsur-unsur
itu terjalin antara satu sama lain dan keseluruhannya di sebut struktur sosial.
Pengaruh timbal balik antara segi-segi kehidupan di sebut
proses sosial.dalam kehidupan bersama sila ke 1 mengatur hubungan negara dan agama.
Dalam hubungan antar negara di tegaskan bahwa tidak ada agama negara tetapi
negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa,pencipta itu adalah causa prima
yang mempunyai hubungan dengan di ciptakannya,manusia sebagai makhluk yang di
cipta wajib menjalankan perintah tuhan dan menjauhi larangannya, di harapkan
negara memberikan iklim yang segar terhadap kehidupan agama di negara
indonesia. Ayat (2) menegaskan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya,di bebaskan terhadap rakyat indonesia untuki memeluk agamnya
sesuai dengan kepercayaannya, dalam berbeda agama di harapkan semua orang dapat
menghormati dan saling memberikan keleluasaan untuk beribadat.
Kehidupan masyarakat dalam bidang sosial-ekonomi di atur
dalam pasal 27 ayat(2), pasal 33 dan 34 ,setiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan ,norma ini
mendapatkan penegasan pasal 34 yang menyatakan bahwa anak-anak dan fakir miskin
yang terlantar di pelihara oleh negara. Dalam pasal 33 ayat (1) yang menegaskan
bahwa perekonomian di susun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan. Akan tetapi dapat juga dengan usaha-usaha modern, sehingga usaha
tersebut dapat di urus oleh kelompok-kelompok masyarakat yang kurang kuat dalam
permodalan agar dapat di usahakan oleh masyarakat yang kuat permodalannya
sehingga menjadi konglomerat yang menguasai cabang-cabang produksi.
NILAI-NILAI BUDAYA YANG DIMILKI BANGSA INDONESIA
Nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum
yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara
individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk,
benar salah, patut atau tidak patut.
Sistem nilai budaya ini merupakan
rangkaian dari konsep-konsep abstrak yang hidup dalam masyarakat, mengenai apa
yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga menjadi pedoman dan pendorong
perilaku manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya terlihat dalam tata
kelakuan. Dari sistem nilai budaya termasuk norma dan sikap yang dalam bentuk
abstrak tercermin dalam cara berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam
bentuk pola perilaku anggota-anggota suatu masyarakat.
Pada dasarnya budaya memiliki
nilai-nilai yang senantiasa diwariskan, ditafsirkan dan dilaksanakan seiring
dengan proses perubahan sosial kemasyarakatan. Pelaksanaan nilai-nilai budaya
merupakan bukti legitimasi masyarakat terhadap budaya. Eksistensi budaya dan
keragaman nilai-nilai luhur kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia
merupakan sarana dalam membangun karakter warga negara, baik yang berhubungan
dengan karakter privat maupun karakter publik.
Menurut Geertz
(1992:5) kebudayaan adalah ‘pola dari pengertian-pengertian atau makna yang
terjalin secara menyeluruh dalam
simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem
mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang
dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan
pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan’. Pendapat ini menekankan bahwa
kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang dapat mengembangkan sikap mereka
terhadap kehidupan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya
melalui proses komunikasi dan belajar agar generasi yang diwariskan memiliki
karakter yang tangguh dalam menjalankan kehidupan.
Namun seiring perkembangan zaman,
eksistensi budaya dan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia
sampai saat ini belum optimal dalam upaya membangun karakter warga negara,
bahkan setiap saat kita saksikan berbagai macam tindakan masyarakat yang
berakibat pada kehancuran suatu bangsa yakni menurunnya perilaku sopan santun,
menurunnya perilaku kejujuran, menurunnya rasa kebersamaan, dan menurunnya rasa
gotong royong diantara anggota masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut
menurut Lickona (1992:32) terdapat
10 tanda dari perilaku manusia yang
menunjukan arah kehancuran suatu bangsa yaitu:
1) meningkatnya kekerasan dikalangan
remaja
2) ketidak jujuran yang membudaya
3) semakin tingginya rasa tidak hormat
kepada orang tua, guru dan figur pemimpin
4) pengaruh peer group terhadap
tindakan kekerasan;
5) meningkatnya kecurigaan dan
kebencian,
6) penggunaan bahasa yang memburuk;
7) penurunan etos kerja;
8) menurunnya rasa tanggung jawab
individu dan warga negara;
9) meningginya perilaku merusak diri;
dan
10) semakin kaburnya pedoman moral.
Pembangunan
karakter bangsa melalui budaya lokal sangatlah dibutuhkan. Pembangunan karakter
bangsa dapat ditempuh dengan cara mentransformasi nilai-nial budaya lokal
sebagai salah satu sarana untuk membangun karakter bangsa. Pentingnya
transformasi nilai-nilai budaya lokal sebagai salah satu sarana untuk membangun
karakter bangsa adalah sebagai berikut:
1) Secara filosofis, pembangunan karakter bangsa merupakan
sebuah kebutuhan asasi dalam proses berbangsa karena hanya bangsa yang memiliki
karakter dan jati diri yang kuat yang akan eksis;
2) Secara ideologis, pembangunan karakter merupakan upaya
mengejewantahkan ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara normatif, pembangunan karakter bangsa merupakan wujud nyata langkah
mencapai tujuan negara;
3) Secara historis, pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah
dinamika inti proses kebangsaan yang terjadi tanpa henti dalam kurun sejarah,
baik pada zaman penjajah, maupan pada zaman kemerdekaan;
4) Secara
sosiokultural, pembangunan karakter bangsa merupakan suatu keharusan dari suatu
bangsa yang multikultural (Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa Tahun
2010-2025:1).
Berdasarkan hal tersebut di atas,
pembangunan karakter bangsa melibatkan berbagai pihak baik keluarga, lingkungan
sekolah, serta masyarakat luas. Pembangunan karakter bangsa tidak akan berhasil
selama pihak-pihak yang berkompeten untuk menunjang pembangunan karakter
tersebut tidak saling bekerja sama. Oleh karena itu, pembangunan karakter
bangsa perlu dilakukan di luar sekolah atau pada masyarakat secara umum sesuai
dengan kearifan budaya lokal masing-masing. Hal yang sama disampaikan oleh Eddy
(2009:5) bahwa “pelestarian kebudayaan daerah dan pengembangan kebudayaan
nasional melalui pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal, dengan
mengaktifkan kembali segenap wadah dan kegiatan pendidikan”
karakter
bangsa dengan cara mentransformasi nilai-nilai budaya lokal yaitu budaya gotong
royong (Huyula). Sebagai sarana untuk bekerja sama dalam menyelesaikan
suatu pekerjaan demi kepentingan umum. Huyula merupakan suatu sistem
gotong royong atau tolong menolong antara anggota masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan bersama yang didasarkan pada solidaritas sosial. Hal
ini tercermin dalam kegiatan yang dilaksanakan secara bersama oleh seluruh
anggota masyarakat seperti halnya dalam kegiatan kekeluargaan ataupun kegiatan
pertanian.
Tetapi, dengan
hadirnya globalisasi yang kurang terfilterisasi dengan baik menyebabkan budaya Huyula
sedikit demi sedikit hilang. Menurut Laliyo (Mohammad, 2005:366-367)
hadirnya globalisasi kearifan semakin termarjinalkan, hal ini nampak pada
perilaku masyarakat yang sudah mulai mengabaikan budaya Huyula yang dulu
pernah dipraktekkan oleh leluhur.
Berdasarkan
kondisi di atas, maka pembangunan karakter bangsa melalui budaya lokal
sangatlah penting. Oleh karena itu, penyusun tertarik untuk melakukan kajian
tentang penelitian tesis dengan tema transformasi nilai-nilai budaya lokal
sebagai upaya pembangunan karakter bangsa.
Penelitian ini merupakan sebuah usaha untuk
mengkaji dan menemukan formula baru tentang budaya Huyula agar tetap
bertahan di tengah-tengah terpaan arus globalisasi dan informasi. Formula yang
dimaksudkan adalah mengkondisikan budaya Huyula sesuai dengan konteks
kekinian tanpa menghilangkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya khususnya Huyula.
Untuk itu, masalah pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana proses
transformasi nilai-nilai budaya Huyula sebagai upaya pembangunan
karakter bangsa.
Persepsi Masyarakat Terhadap Transformasi Nilai-Nilai Budaya Huyula Kaitannya terhadap Upaya Pembangunan Karakter Bangsa
Menurut informan
transformasi nilai-nilai budaya Huyula adalah upaya yang dilakukan oleh
pemerintah, masyarakat dan lembaga pendidikan dalam menurunkan atau memindahkan
nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Huyula ke diri individu atau
masyarakat agar masyarakat dapat melaksanakan nilai-nilai kebaikan sebagaimana
terkandung dalam Huyula tersebut. Hal
ini senada dengan pernyataan Kuntowijoyo. Menurut Kuntowijoyo (2006:56)
transformasi adalah konsep ilmiah atau alat analisis untuk memahami dunia.
Karena dengan memahami perubahan setidaknya dua kondisi/keadaan yang dapat
diketahui yakni keadaan pra perubahan dan keadaan pasca perubahan. Transformasi
merupakan usaha yang dilakukan untuk melestarikan budaya lokal agar budaya
lokal tetap bertahan dan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya agar mereka
memiliki karakter yang tangguh sesuai dengan karakter yang disiratkan oleh
ideologi Pancasila. Karakter ini dapat terwujud jika masyarakat terbiasa
mentransformasi nilai-nilai yang terdapat dalam budaya.
Transformasi nilai adalah usaha atau kegiatan yang
dilakukan untuk tetap melestarikan atau mengembangkan nilai-nilai yang
terkandung dalam budaya agar budaya tersebut dapat menjawab kompleksitas
permasalahan yang dialami oleh mansyarakat. Dengan adanya transformasi nilai
ini masyarakat dapat mengetahui nilai-nilai yang menjadi acuan dalam hidup agar
mereka dapat menyesuaikan dengan perkembangan yang ada tanpa melupakan
nilai-nilai dasar yang terkandung dalam budaya lokalnya.
Transformasi nilai menurut Hoffman (Hakam, 2007:156)
yaitu proses internalisasi sebagai transisi dari orientasi eksternal ke
orientasi internal dalam perkembangan nilai dan moral, internalisasi yang awalnya
eksternal 72 ISSN 1412-565 X.
Atau berdasarkan norma dan nilai budaya masyarakat
berarti telah terjadi pergeseran dari orientasi eksternal menuju orientasi diri
sendiri dalam memotivasi tindakan seseorang. Sejalan dengan pernyataan ini
sebagaimana tedapat dalam teori moral sosialication dari Hoffman (Hakam,
2007:131-132) bahwa perkembangan nilai dan moral mengutamakan pemindahan (transmisi)
nilai dan moral dari budaya masyarakat kepada anak agar anak tersebut kelak
menjadi anggota masyarakat yang memahami nilai dan norma yang terdapat dalam
budaya masyarakat.
Kaitannya dengan penjelasan di atas,
maka eksistensi Huyula dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya agar
dapat menjadi perilaku atau karakter anak atau masyarakat maka langkah yang
harus ditempuh adalah mentransformasi nilai-nilai budaya Huyula
Faktor-Faktor Penunjang dan Tantangannya dalam Proses Transformasi Nilai-Nilai Budaya Huyula sebagai Upaya Pembangunan Karakter Bangsa
Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor penunjang
dalam proses transformasi nilai-nilai budaya Huyula sebagai upaya
pembagunan karakter bangsa yakni faktor masyarakat, agama yang dianut yaitu
agama Islam, sosial kapital masyarakat dan faktor identitas/jati diri
masyarakat. Sedangkan tantangannya yakni adanya pengaruh globalisasi yang
kurang difilter dengan baik, ketidak seriusan masyarakat dalam melestarikan Huyula,
kurang efektifnya lembaga pendidikan, dan kurangnya pemahaman pemerintah
terhadap Huyula.
Faktor Penunjang Proses Transformasi
Faktor penunjang dalam proses transforamsi nilai-nilai
budaya Huyula yaitu; Pertama, sosial kapital. Sosial kapital
merupakan modal masyarakat yang terbangun dari zaman dahulu sampai sekarang
serta memiliki akar sejarah tersendiri bagi masyarakat Ada institusi yang
dikategorikan sebagai sosial kapital masyarakat dalam melestarikan budaya Huyula.
Institusi atau pranata tersebut adalah Bantayo Poboide (Dewan Rakyat).
Dulu Bantayo Poboide digunakan sebagai penentu kegiatan-kegiatan
masyarakat yang berhubungan dengan budaya, ekonomi, politik, pemerintahan serta
sebagai wadah dalam pembuatan aturan tentang adat dan budaya. Sehubungan dengan
hal ini menurut Koentjaraningrat (1985:17) dalam aktivitas masyarakat ada
pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan
berkelompok secara besar-besaran atau kehidupan bernegara, ialah political
institusions. Seperti pemerintahan pemerintahan, demokrasi dan sebagainya.
Sekarang Bantayo Poboide dijadikan sebagai rumah
adat berfungsi sebagai simbolisasi adat dan budaya serta sebagai sarana untuk
melaksanakan kegiatan adat dan budaya baik yang berhubungan dengan festival
kesenian dan pelestarian arsip-arsip budaya serta kegiatan lainnya. Sehubungan
dengan hal ini menurut Wulansari (2009:94) fungsi pranata sosial memberikan
pedoman pada setiap anggota masyarakat, bagaimana mereka harus berbuat,
bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi setiap masalah-masalah yang
terdapat di dalam masyarakat terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan
hidupnya. Artinya walaupun Bantayo Poboide dilihat dari segi fungsinya
tidak seperti dulu lagi, namun dalam melaksanakan aktivitas adat dan budaya
masyarakat masih menjadikan lembaga ini sebagai sarana pelestarian budaya.
Pada saat sekarang Hileiya masih tetap
dilaksanakan oleh masyarakat walaupun dalam bentuk pengorganisasian kegiatannya
tidak seperti dulu. Di zaman dahulu kegiatan Hileiya dilaksanakan secara
spontanitas dan masyarakat langsung datang secara perorangan di rumah kedukaan
dengan membawa uang, makanan atau bantuan lainnya. Tapi di era sekarang Hileiya
dilaksanakan oleh anggota PKK yang dalam pelaksanaannya, anggota tersebut
terkadang tidak menghadiri langsung, dan hanya menitipkan uang atau bantuan lainnya
pada anggota PKK yang berkenan hadir pada Hileiya tersebut.
Faktor penunjang kedua, dalam proses transformasi
nilai-nilai budaya Huyula yaitu adanya identitas sosial/jati diri.
Adapun identitas sosial yang di miliki oleh masyarakat yaitu terdapatnya satu
suku, kondisi ini mempermudah relasi, komunikasi antara masyarakat yang satu
dengan yang lain karena telah terbangun basis kebersamaan kesukuan. Pada level
ini proses transformasi nilai-nilai budaya Huyula tidak mendapat
hambatan. Artinya kegiatan Huyula dalam konteks Ti’ayo merupakan
satu kebiasaan masyarakat pertanian. Jauh sebelum kebiasaan berhuyula
dilaksanakan dalam bentuk Ambu dan Hileiya sesungguhnya
pelaksanaan Huyula pertama kalinya dilaksanakan oleh masyarakat
pertanian. Mengingat begitu pentingnya pula kebutuhan-kebutuhan lain seperti Ambu
dan Hileiya maka Huyula dilaksanakan dalam kegiatan tersebut.
Satu-satunya budaya khususnya budaya dalam wujud aktivitas masyarakat yaitu
budaya Huyula. Hal yang sama disampaikan oleh Daulima (2004:82) bahwa
pada sistem ekonomi peninggalan leluhur terdapat kegiatan-kegiatan sosial baik
yang terkoordinir maupun suka rela. Kegaiatan tersebut adalah Huyula.
Tantangan dalam Proses Transformasi
Tantangan dalam proses transformasi nilai-nilai budaya Huyula
sebagai upaya pembangunan karakter bangsa di Indonesia adalah sebagai berikut:
Pertama, adanya pengaruh globalisasi. Globalisasi mempengaruhi hampir
seluruh aspek kehidupan masyarakat termasuk dintaranya aspek budaya.
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu
ke seluruh dunia. Kontak melalui media menggantikan fisik sebagai sarana utama
komunikasi antar bangsa. Kondisi ini mengakibatkan komunikasi antar bangsa
lebih mudah dilakukan dan hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan
globalisasi kebudayaan. Dalam teori dependensi dari Qordoso et al (Syam,
2009-344) bahwa globalisasi dalam arti yang negatif adalah bila yang terjadi
bukan heterogenitas melainkan homogenisasi budaya dan gaya hidup dengan
menempatkan nilai-nilai universal menjadi tereduksi oleh suatu kepentingan
kekuatan
Dalam sistem
nilai budaya Indonesia, gotong royong mengandung 4 konsep : Pertama, Manusia
tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh komunitasnya,
masyrakatnya dan alam semesta sekitarnya. Kedua, Dalam segala aspek kehidupan
manusia pada hakekatnya tergantung terhadap sesamanya. Ketiga, Memelihara
hubungan baik dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama-rata sama-rasa.
Keempat, Selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat sama
dan bersama dengan sesamanya.
Seluruh konsep
tersebut memberikan sifat ketergantungan kepada sesama, dimana hal tersebut
menciptakan suatu rasa keamanan nurani yang sangat dalam. Gotong royong
merupakan kunci budaya kontemporer Indonesia, yang menggambarkan masyarakat di
dalamnya dan semua kebijakan yang diambil dalam kehidupan bermasyarakat harus
berdasarkan konsep gotong royong (Bowen 1986, 545).
Abdurrahaman
Wahid mengatakan bahwa masyarakat bangsa Indonesia itu memiliki nilai sesuatu
yang berwujud pencarian yang tak berkesudahan akan sebuah perbahan sosial tanpa
memutuskan sama sekali dengan ikatan masa lampau (Wahid 1981, 7). Masyarakat
bangsa Indonesia selalu mengikuti pergerakan perubahan sosial menurut
perkembangan zaman. Hal tersebut menjadikan masyarakat itu lupa akan jati
dirinya sendiri, tetapi mereka tidak memutuskan ikatan dengan sejarah masa
lalu. Masyarakat bangsa Indonesia selalu mencari sesuatu yang baru, tetapi
tidak melupakan konsep nilai budaya dan identitas nasionalmya.
Budaya khas
lain yang dimiliki masyrakat bangsa Indonesia adalah negara dan ideologi agama
yang mengakar di lapisan masyarakat saling tumpang tindih. Hal tersebut menjadi
sangat sulit dibedakan. Indonesia merupakan contoh yang hebat dari adanya
kesesuaian Islam (ideologi agama) dengan demokrasi (Wahid, 2001). Walaupun
masyrakat Indonesia mayoritas beragama Islam tetapi Indonesia bukan merupakan
negara dengan pemerintahan yang bersifat teokrasi. Masyarakat Indonesia
menyetujui adanya nilai-nilai agama dan nilai-nilai patriotik, dan hal tersebut
dijadikan dasar pembentukan negara Indonesia. Pada era reformasi peluang
berpolitik semakin terbuka lebar, namun peran agama disini harus hilang sebagai
adanya sikap toleransi. Sekalipun agama memainkan peran penting dalam
nilai-nilai bermasyarakat tetapi arena politik harus sejalan dengan sebagai
mana mestinya politik (Wahid, 2001).
Sebagai syarat
mutlak kebudayaan bangsa Indonesia dapat didukung oleh seluruh masyarakat
nasional, maka harus mempunyai sifat yang khas dan harus dapat dibanggakan. Dan
unsur dari kebudayan tersebut harus dapat memberikan identittas kepada
masyarakat Indonesia itu sendiri. Sehingga dapat menimbulkan rasa bangga. Oleh
karena itu, kebudayaan tersebut harus bermutu tinggi. Berarti tiap hasil karya
putera-puteri bangsa Indonesia dari suku atau bangsa mana saja asalnya, yang
bersifat khas bangsa Indonesia dan bermutu baik, dan apabila masyrakat
Indonesia bangga akan hasil karya tersebut, maka hal itu dapat dijadikan
sebagai Kebudayaan nasional Indonesia.
Orientasi Nilai Budaya
Kluckhohn dalam Pelly
(1994) mengemukakan bahwa nilai
budaya merupakan sebuah konsep beruanglingkup
luas yang hidup dalam alam fikiran sebahagian
besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup.
Rangkaian konsep itu satu sama lain saling berkaitan dan merupakan sebuah
sistem nilai – nilai budaya.
Secara fungsional
sistem nilai ini mendorong individu untuk
berperilaku seperti apa yang ditentukan. Mereka
percaya, bahwa hanya dengan berperilaku seperti itu
mereka akan berhasil (Kahl, dalam Pelly:1994). Sistem nilai itu menjadi pedoman
yang melekat erat secara emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang,
malah merupakan tujuan hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah
sistem nilai manusia tidaklah mudah, dibutuhkan waktu. Sebab, nilai – nilai
tersebut merupakan wujud ideal dari lingkungan
sosialnya. Dapat pula dikatakan bahwa
sistem nilai budaya suatu masyarakat
merupakan wujud konsepsional dari
kebudayaan mereka, yang seolah – olah berada diluar dan di atas para individu
warga masyarakat itu.
Ada lima masalah pokok kehidupan
manusia dalam setiap kebudayaan yang dapat ditemukan secara universal. Menurut
Kluckhohn dalam Pelly (1994) kelima masalah pokok tersebut adalah: (1) masalah hakekat
hidup, (2) hakekat kerja atau karya manusia, (3) hakekat kedudukan manusia
dalam ruang dan waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan
(5) hakekat dari hubungan manusia dengan manusia sesamanya.
Berbagai
kebudayaan mengkonsepsikan masalah
universal ini dengan berbagai variasi
yang berbeda – beda. Seperti masalah
pertama, yaitu mengenai hakekat hidup manusia. Dalam banyak
kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Budha misalnya, menganggap hidup itu
buruk dan menyedihkan. Oleh karena itu pola kehidupan masyarakatnya berusaha
untuk memadamkan hidup itu guna mendapatkan nirwana,
dan mengenyampingkan segala
tindakan yang dapat menambah rangkaian hidup kembali
(samsara) (Koentjaraningrat, 1986:10). Pandangan seperti ini
sangat mempengaruhi wawasan dan makna
kehidupan itu secara keseluruhan. Sebaliknya banyak kebudayaan yang
berpendapat bahwa hidup itu baik. Tentu konsep – konsep kebudayaan yang berbeda
ini berpengaruh pula pada sikap dan wawasan mereka.
Masalah kedua mengenai hakekat
kerja atau karya dalam kehidupan. Ada kebudayaan yang memandang bahwa kerja itu
sebagai usaha untuk kelangsungan hidup (survive) semata. Kelompok ini kurang
tertarik kepada kerja keras. Akan tetapi ada juga yang menganggap kerja untuk
mendapatkan status, jabatan dan kehormatan. Namun, ada yang berpendapat bahwa
kerja untuk mempertinggi prestasi. Mereka ini berorientasi kepada prestasi
bukan kepada status.
Masalah ketiga mengenai orientasi
manusia terhadap waktu. Ada budaya yang memandang penting masa lampau, tetapi
ada yang melihat masa kini sebagai focus usaha dalam perjuangannya. Sebaliknya
ada yang jauh melihat kedepan. Pandangan yang berbeda dalam dimensi waktu ini
sangat mempengaruhi perencanaan hidup masyarakatnya.
Masalah keempat berkaitan dengan
kedudukan fungsional manusia terhadap alam. Ada yang percaya bahwa alam itu
dahsyat dan mengenai kehidupan manusia. Sebaliknya ada yang menganggap alam
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dikuasai manusia. Akan tetapi, ada
juga kebudayaan ingin mencari harmoni dan keselarasan dengan alam. Cara pandang
ini akan berpengaruh terhadap pola aktivitas masyarakatnya.
Masalah kelima menyangkut hubungan
antar manusia. Dalam banyak kebudayaan hubungan ini tampak dalam bentuk orientasi
berfikir, cara bermusyawarah, mengambil keputusan dan bertindak. Kebudayaan
yang menekankan hubungan horizontal (koleteral) antar individu, cenderung untuk
mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian seperti terlihat dalam
masyarakat – masyarakat eligaterian. Sebaliknya kebudayaan yang menekankan
hubungan vertical cenderung untuk mengembangkan orientasi keatas (kepada
senioritas, penguasa atau pemimpin). Orientasi ini banyak terdapat dalam
masyarakat paternalistic (kebapaan). Tentu saja pandangan ini sangat
mempengaruhi proses dinamika dan mobilitas social masyarakatnya.
BAB III
PENUTUP
Kita telah
mengetahui bahwa nilai pancasila sangatlah penting bagi warga negara Indonesia.
Nilai pancasila juga
merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan negara Republik Indonesia. Maka
manusia Indonesia menjadikan pengamalan Pancasila sebagai perjuangan utama
dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan kengaraan. Oleh karena itu
pengalamannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara
negara yang secara meluas akan berkembang menjadi pengalaman Pancasila oleh
setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik dipusat maupun di
daerah.
DAFTAR PUSTAKA
www.wirasaputra.wordpress.com/2-4-2014
www.unair.ac.id/2-4-2014
No comments:
Post a Comment