Monday, December 25, 2017

Konsep Gender dalam Islam - Tugas Makalah Kuliah

BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Studi – studi tentang gender saat ini melihat bahwa ketimpangan gender terjadi akibat  rendahnya  kualitas  sumberdaya  kaum  perempuan  sendiri,  dan  hal tersebut mengakibatkan ketidakmampuan mereka bersaing dengan kaum lelaki. Oleh karena itu berbagai upaya yang harus dilakukan oleh semua aspek tentunya menjadi penentu apakah gender di Indonesia masih ada ketimpangan atau sudah dapat berjalan sesuai dengan konsepnya.
Realitas yang kita jumpai pada masyarakat tertentu terdapat adat kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan perempuan dalam pendidikan formal. Bahkan ada nilai yang mengemukakan bahwa “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya ke dapur juga.” Ada pula anggapan seorang gadis harus cepat-cepat menikah agar tidak menjadi perawan tua. Paradigma seperti inilah yang menjadikan para perempuan menjadi terpuruk dan dianggap rendah kaum laki-laki.
Dalam rangka menjawab semua persoalan ini, maka sangat bermanfaat jika penulis membahas tentang Gender dalam eksistensinya dan Gender dalam perspektif islam, sosial budaya, dan pendidikan.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Gender dan eksistensinya?
2.      Apa kategori gender dalam perspektif islam?
3.      Apa kategori gender dalam perspektif sosial budaya?
4.      Apa kategori gender dalam perspektif pendidikan?

C.      Tujuan
1.    Untuk mengetahui tentang pengertian Gender dan eksistensinya.
2.    Untuk mengetahui tentang gender dalam perspektif islam.
3.    Untuk mengetahui tentang gender dalam perspektif sosial budaya.
4.    Untuk mengetahui tentang gender dalam perspektif pendidikan

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Gender dan Eksistensinya
Hal penting yang perlu dilakukan dalam kajian gender adalah memahami perbedaan konsep gender dan seks (jenis kelamin). Kesalahan dalam memahami makna gender merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sikap menentang atau sulit bisa menerima analisis gender dalam memcahkan masalah ketidakadilan sosial.
Seks adalah perbedaan laki-laki dan perempuan yang berdasar atas biologis dan merupakan kodrat Tuhan.[1] Menurut Mansour Faqih, sex berarti jenis kelamin yang merupakan penyifatan atau pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Perbedaan anatomi biologis ini tidak dapat diubah dan bersifat menetap, kodrat dan tidak dapat ditukar. Oleh karena itu perbedaan tersebut berlaku sepanjang zaman dan dimana saja.[2]
Sedangkan gender, secara etimologis gender berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin. Tetapi Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang. [3]
Dalam batas perbedaan yang paling sederhana, seks dipandang sebagai status yang melekat atau bawaan sedangkan gender sebagai status yang diterima atau diperoleh.
Mufidah dalam Paradigma Gender mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk,  kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan. [4]
Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
Di Indonesia, perempuan telah diberi peluang yang sama dengan laki-laki di bidang pendidikan, namun persepsi masyarakat terhadap perempuan tidak mengalami perubahan yang berarti. Masih kuatnya anggapan bahwa pendidikan pada wanita tujuannya adalah agar ia lebih mampu mendidik anak-anaknya. Perempuan tetap saja dianggap the second sex.
Perempuan 'direndahkan' ketika ia hanya di rumah dan 'dieksploitasi' ketika mereka berada di tempat kerja. Persepsi demikian tidak hanya dianut kalangan awam, juga cendekiawan, dan yang lebih memprihatinkan pemerintah juga menjustifikasi persepsi tersebut dalam kebjakan pembangunan, yang diungkapkan dalam panca tugas wanita: sebagai istri dan pendamping suami, sebagai pendidik dan pembina generasi muda, sebagai pekerja yang menambah penghasilan negara dan sebagai anggota organisasi masyarakat, khususnya organisasi perempuan dan organisasi sosial. Tak terungkap tegas apa peran-peran seorang laki-laki.
Bila kita tinjau permasalahan gender di Indonesia, sampai sekarang pandangan mengenai perempuan sebagai ibu rumah tangga masih teramat kuat, sehingga baik pemerintah maupun media massa terus-menerus berbicara tentang peran ganda, padahal menurut Budiman, jika wanita masih harus membagi hidupnya menjadi dua, satu di sektor domestik dan satu lagi di sektor publik, maka menurutnya laki-laki yang mencurahkan perhatian sepenuhnya pada sektor publik akan selalu memenangkan persaingan di pasaran tenaga kerja.
Tampaknya mustahil untuk mengatasi permasalahan gender ini hanya dari sudut pandang wanita, atau dengan perkataan lain hanya dengan berusaha merubah wanita sebagai individu, dan juga masalah tidak akan selesai hanya dengan menyalahkan laki-laki, namun penting untuk memahami laki-laki secara empatik, apa permasalahannya, bagaimana kaitannya dengan struktur patriarchi masyarakat, yang tentunya terkait dengan budaya dari suatu masyarakatnya.

B.     Gender Dalam Perspektif Islam
Pada dasarnya semangat hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam bersifat adil (equal). Oleh karena itu subordinasi terhadap kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang berkembang di masyarakat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan semangat keadilan yang diajarkan Islam.
Konsep kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam al- Qur’an, antara lain sebagai berikut:
Pertama, laki laki dan perempuan adalah sama-sama sebagai hamba. Tercantum dalam QS. Az- Zariyat: 56, yang artinya sebagai berikut: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”.
Dalam kapasitasnya sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi  hamba ideal. Hamba ideal dalam al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertakwa (muttaqin).
Kedua, Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi. Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah di samping untuk menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah, juga untuk menjadi khalifah di bumi, sebagaimana tersurat dalam Alqur’an (Al-An’am: 165), yang artinya sebagai berikut: “Dan dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kalian atas sebahagian yang lain beberapa derjat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikanNya kepada kalian. Sesungguhnya Tuhan kalian amat cepat siksaanNya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ketiga, Laki-laki dan Perempuan menerima perjanjian primordial. Menjelang sorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanj-ian dengan Tuhannya. Disebutkan dalam Alqur’an (Al-A’raf: 172), yang artinya sebagai berikut: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) Bukankah Aku ini TuhanMu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.(Kami lakukan). Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Dalam Islam tanggung jawab individual dan kemandirian berlangsung sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.
Keempat, Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi. Tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan untuk meraih peluang prestasi. Disebutkan dalam Alquran (Al-Nisa: 124), yang artinya sebagai berikut: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”.
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan konsep kesetaraan yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesional, tidak mesti dimonopoli oleh satu jenis kelamin saja.
Menurut Nasaruddin Umar, Islam memang mengakui adanya perbedaan (distincion) antara laki-laki dan perempuan, tetapi bukan perbedaan (discrimination). Perbedaan tersebut didasarkan atas kondisi fisik-biologis perempuan yang ditakdirkan berbeda dengan laki-laki, namun perbedaan tersebut tidak dimaksudkan untuk memuliakan yang satu dan merendahkan yang lainnya.[5]
Ajaran Islam tidak secara skematis membedakan faktor-faktor perbedaan laki-laki dan perempuan, tetapi lebih memandang kedua insan tersebut secara utuh. Antara satu dengan lainnya secara biologis dan sosio kultural saling memerlukan dan dengan demikiann antara satu dengan yang lain masing-masing mempunyai  peran.
Boleh jadi dalam satu peran dapat dilakukan oleh keduanya, seperti perkerjaan kantoran, tetapi dalam peran-peran tertentu hanya dapat dijalankan oleh satu jenis, seperti; hamil, melahirkan, menyusui anak, yang peran ini hanya dapat diperankan oleh wanita. Di lain pihak ada peran-peran tertentu yang secara manusiawi lebih tepat diperankan oleh kaum laki-laki seperti  pekerjaan yang memerlukan tenaga dan otot lebih besar.[6]
Dengan demikian dalam perspektif normativitas Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Tinggi rendahnya kualitas seseorang hanya terletak pada tinggi-rendahnya kualitas pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah swt. Allah memberikan  penghargaan yang sama dan setimpal kepada manusia dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan atas semua amal yang dikerjakannya.
Dari penjelasan diatas, Islam menanggapi gender sebagai suatu fenomena sosial, yang mana antara laki-laki dengan perempuan mempunyai peran saling melengkapi satu sama lain dan memiliki kedudukan yang setara, sehingga antara laki-laki dan perempuan akan bekerjasama untuk menuju keharmonisan dalam kehidupan sosial.

C.    Gender Dalam Perspektif Sosial Budaya
Struktur sosial budaya adalah segala bentuk sikap, perilaku dan reaksi seseorang atau sekelompok orang terhadap lingkungannya. Budaya adalah hasil daya cipta, rasa dan karsa manusia untuk mempermudah hidup dan kehidupan manusia. Jadi, struktur sosial-budaya dapat berubah karna tidak bersifat kodrati.
Dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat kita pada umumnya sudah terbiasa melihat laki-laki yang bekerja di luar sedangkan perempuan bekerja dirumah saja. Suatu konstruksi sosial seperti ini bisa saja dibalikkan, tergantung dari kemampuan dari si suami dan si istri, apakah si suami yang mampu bekerja diluar ataukah si istri. Mengingat bahwasanya hubungan suami istri merupakan hubungan kemitraan yang saling melengkapi satu sama lain.
Namun sekali lagi, kondisi budaya seperti itu dapat dibalik sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak, yang jelas perbedaan perilaku antara pria dan wanita, selain disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar justru terbentuk melalu proses sosial dan cultural. Oleh karena itu gender dapat berubah dari tempat ketempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat.[7]
Meski dipahami bahwa semuanya dapat dibalik, akan tetapi tidak semua aktivitas dapat bertukar peran antara laki-laki dan perempuan, namun semampang aktivitas tersebut tidak terkait dengan kondisi biologis jenis kelamin, maka sebenarnya dapat terjadi tukar peran antara jenis kelamin yang berbeda.
Kondisi inilah yang tampak belum secara arif dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat kita, dan budaya pada akhirnya menguatkannya dan menjadikan sesuatu yang sakral. Hingga pada akhirnya, akan terlihat canggung tatkala ada seorang bapak yang menggendong anaknya, sementara sang ibu berjalan lenggang, atau sulit terjadi dalam teks-teks buku bahasa Indonesia dicontohkan perilaku seperti, ibu membaca koran, ayah memasak di dapur.
Padahal kondisi itu telah secara empirik ada dalam masyarakat kita, meski persentasenya belum banyak. Pada akhirnya disadari bahwa budaya memainkan peran penting dalam kontruksi gender seseorang.
Beberapa contoh hasil temuan penelitian mengungkapkan begitu besarnya peran budaya pada konstruksi gender yang dimilliki seseorang. Sebut saja penelitian yang dilakukan oleh Maccoby dan Jacklin (1974) bahwa laki-laki lebih baik dalam bidang matematika dan tugas-tugas yang membutuhkan pemikiran, sementara perempuan lebih baik dalam hal tugas-tugas yang berkaitan dengan pemahaman verbal.

D.    Gender Dalam Perspektif Pendidikan
Keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat, bernegara dan membangun keluarga berkualitas. Jumlah penduduk perempuan hampir setengah dari seluruh penduduk Indonesia dan merupakan potensi yang sangat besar dalam mencapai kemajuan dan kehidupan yang lebih berkualitas.
Kesetaraan Gender, kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pertahanan & keamanan nasional (hankamnas), bahkan pendidikan juga memiliki kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Keadilan gender suatu perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Perbedaan biologis tidak bisa dijadikan dasar untuk terjadinya diskriminasi mengenai hak sosial, budaya, hukum dan politik terhadap satu jenis kelamin tertentu.
       Sedangkan gender dalam perspektif pendidikan maka pendidikan di Indonesia harus mampu menghantarkan setiap individu atau rakyat mendapatkan pendidikan sehingga bisa disebut pendidikan kerakyatan. Sebagaimana Athiyah, Wardiman Djojonegoro menyatakan bahwa ciri pendidikan kerakyatan adalah perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik.
       Dalam kerangka ini, pendidikan diperuntukkan untuk semua, minimal sampai pendidikan dasar. Sebab, manusia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Apabila ada sebagian anggota masyarakat, sebodoh apapun yang tersingkir dari kebijakan kependidikan berarti kebijakan tersebut telah meninggalkan sisi kemanusiaan yang setiap saat harus diperjuangkan.[8]
       Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa nilai kemanusiaan terwujud dengan adanya pemerataan yang tidak mengalami bias gender. Masalah pendidikan, antara anak perempuan dan anak laki-laki hendaknya harus seimbang. Anak perempuan, sebagaimana anak laki-laki harus punya hak/kesempatan untuk sekolah lebih tinggi. Bukan menjadi alternative kedua jika kekurangan biaya untuk sekolah.
       Hal ini dengan pertimbangan adanya penghambur-hamburan uang sebab mereka akan segera bersuami, peluang kerjanya kecil dan bisa lebih banyak membantu orang tua dalam pekerjaan rumah.
       Faktor lain yang dapat menghambat akses perempuan terhadap pendidikan tingkat atas dan tinggi adalah jumlah sekolah yang terbatas, dan jarak tempuh yang jauh diduga lebih membatasi anak perempuan untuk bersekolah dibandingkan laki-laki. Perkawinan dini juga menjadi faktor yang sangat dominan mengapa perempuan tidak melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi. [9]
       Pendirian seperti ini melanggar etika Islam yang memperlakukan orang dengan standar yang materialistik. Islam menyerukan adanya kemerdekaan, persamaan dan kesempatan yang sama antara yang kaya dan yang miskin dalam bidang pendidikan di samping penghapusan sistem-sistem kelas-kelas dan mewajibkan setiap muslim laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu serta memberikan kepada setiap muslim itu segala macam jalan untuk belajar, bila mereka memperlihatkan adanya minat dan bakat.
       Dengan demikian, pendidikan kerakyatan seharusnya memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga melainkan juga masalah pertanian dan keterampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua bidang tersebut akan menjadikan nilai yang amat besar-merupakan langkah awal untuk memperjuangkan persamaan yang sesungguhnya.
       Pendidikan memang harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan zaman yaitu kualitas yang memiliki keimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh, mengenali, menghayati dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan mutakhir, mampu mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada hal-hal yang baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi dan berusaha meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualitas tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.
       Ungkapan Athiyah tentang pendidikan perempuan seakan menyadari kondisi riil historisitas kaum muslimin yang secara sosial perempuan seringkali dirugikan oleh perilaku sosialnya. Seperti gadis-gadis harus putus sekolah karena diskriminasi gender (sebab pernikahan atau hamil diluar nikah) atau karena keterbatasan ekonomi anak laki-laki mendapatkan prioritas utama walau potensinya tidak lebih tinggi daripada anak perempuan.
       Namun yang jelas menurut Athiyah, ketika sungguh-sungguh menerapkan sistem pendidikan, maka akan tercipta persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan, hal inilah menjadi tugas kita semua sampai saat ini.

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.    Harus dibedakan antara seks dan gender, kalau seks adalah perbedaan laki-laki dan perempuan yang berdasar atas biologis dan merupakan kodrat Tuhan. Sedangkan gender berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin. Sedangkan eksistensinya saat ini berbagai macam tafsir, ada yang mengatakan sudah terjadi kesetaraan gender, namun ada pula yang bilang belum terlaksana kesetaraan gender tersebut.
2.      Gender dalam perspektif islam maksudnya ialah Islam dalam kitab sucinya menanggapi gender sebagai suatu fenomena sosial, yang mana antara laki-laki dengan perempuan mempunyai peran saling melengkapi satu sama lain dan memiliki kedudukan yang setara, sehingga antara laki-laki dan perempuan akan bekerjasama untuk menuju keharmonisan dalam kehidupan sosial.
3.      Gender dalam perspektif sosial budaya maksudnya bahwa budaya memainkan peran penting dalam kontruksi gender seseorang dan lingkungannya.
4.      Gender dalam perspektif pendidikan maksudnya adalah sampai saat ini masih banyak perempuan yang tidak melanjutkan sekolahnya dengan berbagai alasan, karena dia sudah menyangka bahwa dirinya tidak akan mampu. Untuk mengatasi problem gender dalam dunia pendidikan mungkin bisa diterapkan pendidikan kerakyatan.

B.       Saran
Kita semuanya harus bisa menjadi pelopor kesetaraan gender, karena bagaimanapun juga dalam agama kita derajat antara laki-laki dan perempuan itu sama, disamping itu pula sudah ada pahlawan yang menjadi benteng pendobrak kesetaraan gender, jadi para kaum wanita, marilah kita setarakan derajat kita dengan kaum laki-laki.




Daftar Pustaka

Ace Suryadi dan Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, cet. I (Bandung: Genesindo, 2004).
Eni Purwati dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Alpha, 2005).
Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar Inggris-Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Mansour Faqih, Analisis gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.
Mansour Faqih, Gender Sebagai Alat Analisis Sosial, Edisi 4 November 1996.
Mufidah Ch, Paradigma Gender, Malang: Bayumedia Publishing, 2003.
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 2001.
Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan  Gender, 1999.








[1]  Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 2001, hal. 1.
[2] Mansour Faqih, Analisis gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, hal.8.
[3] Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar Inggris-Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal 23.
[4] Mufidah Ch, Paradigma Gender, Malang: Bayumedia Publishing, 2003, hal. 4-6. 
[5] Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan  Gender, 1999, hal. 23.
[6] Ibid, hal 24
[7]  Mansour Faqih, Gender Sebagai Alat Analisis Sosial, Edisi 4 November 1996.
[8] Eni Purwati dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Alpha, 2005), 30.
[9] Ace Suryadi dan Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, cet. I (Bandung: Genesindo, 2004), hal.19

Monday, February 6, 2017

New Years Eve New York 2018 - New Years Eve New York - Enjoy you'r life in New york



New Years Eve New York 2018

 New Years Eve New York- let’s celebrate your NYE in metropolitan city, New York, home to one of the night's most memorable events. One of the world's most electric New Year's Eve parties happens and the famous New Year's Eve Ball descends from the flagpole atop One Times Square. There are many stages of live music by top artists around the city and absolutely an awesome fireworks show and confetti display will be presented in midnight.

Countdown and Fireworks Parties New Years Eve New York
Over a million revelers in Times Square are waiting to countdown the seconds to the New Year. Millions of eyes from all over the world are focused on the sparkling Waterford Crystal Times Square New Year's Eve Ball. At 11:59 p.m., the Ball begins its descent as millions of voices unite to count down the final seconds of the year, and celebrate the beginning of a new year full of hopes, challenges, changes and dreams.

This celebration is preceded by Celebrity music performances start from 8 p.m., enthralling pyrotechnic lightshow, writing hopes on New Year's Eve Wishing Wall and other festivities. New Year is celebrated with great pomp in The Time Square and the whole of New York.

At Midnight, the Ball’s lights on are turned on as the numerals of the New Year shining high. The iconic ball drops from a flagpole on top of One Times Square and revelers welcome the New Year accompanied by colorful confetti shimmering and spectacular fireworks display.
Happy New Years in New York


For another choice, booking a table at one of the bars or restaurants overlooking the Square such as rum house, latitude bar & longue and bar 54 or opting for a boat cruise from New York Harbor where you'll get a great view of the midnight fireworks show from Liberty Island. There are a lot of different parties to choose from this year, ranging from hip pubs to black tie galas. 

New Years Eve in New York is All about Exceptional Accommodations
There are a long list of fantastic accommodations in New York, varied enough to suit every budget. Some of the most popular options include Dream Hotel, The Plaza Hotel, Park South Hotel and Chelsea Pines Inn. You can use subway or local bus to go around the city for cheap trip.