Tuesday, September 8, 2015

Nilai-nilai Pancasila Dalam UUD 45



BAB I

PENDAHULUAN


Latar Belakang


Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber nilai bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, maksudnya sumber acuan dalam bertingkah laku dan bertindak dalam menentukan dan menyusun tata aturan hidup berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai yang digali, tumbuh dan berkembang dari budaya bangsa Indonesia, sehingga menjadi ideologi yang tidak diciptakan oleh bangsa lain.
Menjadikan Pancasila sebagai ideology juga merupakan sumber nilai, sehingga Pancasila merupakan asas kerokhanian bagi tertib hukum Indonesia, dan meliputi suasana kebatinan (Geistlichenhintergrund) dari UUD 1945 serta mewujudkan cita-cita hokum bagi hokum dasar negara.

Pancasila mengharuskan UUD mengandung isi yanag mewajibkan pemerintah untuk memelihara serta menjaga budi pekerti kemanusiaan dan cita-cita moral rakyat yang luhur.
Pancasila sering digolongkan ke dalam ideologi tengah di antara dua ideologi besar dunia yang paling berpengaruh, sehingga sering disifatkan bukan ini dan bukan itu. Pancasila bukan berpaham komunisme dan bukan berpaham kapitalisme. Pancasila tidak berpaham individualisme dan tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan berpaham teokrasi dan bukan berpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yang merepotkan aktualisasi nilai-nilainya ke dalam kehidupan praksis berbangsa dan bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam) yang selalu bergerak ke kanan dan ke kiri secara seimbang tanpa pernah berhenti tepat di tengah.
             Pada saat berdirinya negara Republik Indonesia, kita sepakat mendasarkan diri pada ideologi Pancasila dan UUD 1945 dalam mengatur dan menjalankan kehidupan negara. Namun sejak Nopember 1945 sampai sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah Indonesia mengubah haluan  politiknya dengan mempraktikan sistem demokrasi liberal.Dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia menjadi pro Liberalisme.Deviasi ini dikoreksi dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya di samping kanan digeser dan digerakan ke kiri.Kebijakan ini sangat menguntungkan dan dimanfaatkan oleh kekuatan politik di Indonesia yang berhaluan kiri (baca: PKI) 
Hal ini tampak pada kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap Barat (kapitalisme) dan pro ke Kiri dengan dibuatnya poros Jakarta-Peking dan Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.Soekarno) dan berkuasanya pemerintahan Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah  Orde Baru berusaha mengoreksi segala penyimpangan yang dilakukan oleh regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yang tadinya mengarah ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde Barupun akhirnya dianggap penyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik dalam menggelola negara. Pada  tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yang dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya regim Orde Baru telah muncul 4 regim Pemerintahan Reformasi sampai saat ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya mampu memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru. Untuk itu harus didasari dengan pemahaman dasar – dasar yuridis tujuan. Pendidikan Nasional, Pendidikan Pancasila serta kompetensi yang diharapkan dari kuliah Pendidikan Pancasila.
Perkembangan masyarakat dunia yang semakin cepat secara langsungataupun tidak langsung mengakibatkan perubahan besar pada berbagai bangsa didunia. Gelombang besar kekuatan internasional dan transnasional melalui globalisasi telah mengancam, bahkan mengasai eksistensi Negara-negara kebangsaan, termasuk Indonesia. Akibat yang langsung terlihat adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan kebangsaan karena adanya perbenturan tara nasionalisme dan internasionalisme. Permasalahan kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia menjadi semakin kompleks dan rumit manakala ancaman inter nasional yang terjadi di satu sisi, pada sisi yang lain muncul masalah internal, yaitu maraknya tuntutan  rakyat, yang secara objektif mengalami suatu kehidupan yang jauh dari kesejahteraan dan keadilan sosial.
Paradoks antara kekuasaan global dengan kekuasaan nasional ditambah komplik internal seperti gambaran di atas, mengakibatkan suatu tarik menarik kepentingan yang secara langsung mengancam jati diri bangsa. Nilai-nilai baru yang masuk, baik secara sujektif maupun objektif, serta terjadinya pergeseran nilai di tengah masyarakat yang pada akhirnya mengancam-prinsip-prinsip hidup berbangsa masyarakat Indonesia. Prinsip dasar yang telah ditemukan oleh peletak dasar ( The founding fathers ) Negara Indonesia yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat bernegara, itulah pancasila.
Dengan pemahaman demikian, maka pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia saat ini mengalami ancaman dengan munculnya nilai-nilai baru dari luar dan pergeseran nilai-nilai yang terjadi. Secara ilmiah harus disadari bahwa suatu masyarakat suatu bangsa, meliki suatu pandangan hidup atau filsaat hidup masing-masing, yang berbeda dengan bangsa lain didunia. Inilah yang disebut sebagai local genius (kecerdasan / kreatifitas lokal ) dan sekaligus sebagai local wisdom (kearifan local) bangsa. Dengan demikian, bangsa Indonesia tidak mungkin memiliki kesamaan pandangan hidup dan filsafat hidup dengan bangsa lain. Ketika para pendiri Negara Indonesia menyiapkan berdirinya Negara eka, mereka sadar sepenuhnya untuk menjawab suatu pertanyaan yang fundamental “ di atas dasar apakah Negara Indonesia merdeka ini atas pertanyaan mendasar ini akan selalu menjadi dasar dan tolak ukur utama bangsa ini meng-Indonesia. Dengan kata lain, jati diri bangsa selalu bertolak ukur pada nilai-nilai pancasila sebagai filsafat bangsa. Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistim haman demikian memerlukan pengkajian lebih lanjut menyangkut aspek ontology, epistemology, dan aksiologi dari kelima sila pancasila. Lalu, Pancasila ditetapkan dalam Pembukaan UUD sebagai dasar negara Republik Indonesia, seperti berikut:
“... maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.







BAB II

PEMBAHASAN


TRANSFORMASI NILAI-NILAI PANCASILA


Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila

Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa semua realitas dalam alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan,  kreatif dan baru. Realitas itu dinamik dan suatu proses yang terus menerus “menjadi”, walaupun unsur permanensi realitas dan identitas diri dalam perubahan  tidak boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat pula dikenakan  pada ideologi Pancasila sebagai suatu realitas (pengada). Masalahnya, bagaimanakah  nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ? dan, unsur nilai Pancasila  manakah yang mesti harus kita pertahankan tanpa mengenal perubahan  ?
            Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai dalam  ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah:
Pertama, nilai dasar,  yaitu suatu  nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu.Nilai dasar merupakan prinsip, yang   bersifat amat abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan  kebenaran  yang bagaikan aksioma. Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara.Nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang  telah menyengsarakan rakyat, maupun dari cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga masyarakat.
Kedua, nilai instrumental,  yaitu suatu nilai yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental merupakan  penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini dapat dan  bahkan  harus disesuaikan  dengan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu.Dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.
Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis terdapat pada demikian banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara idealisme dan realitas.
            Jika ditinjau dari segi pelaksanaan nilai yang dianut, maka sesungguhnya pada nilai praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu. Ringkasnya bukan pada rumusan abstrak, dan bukan juga pada kebijaksanaan, strategi, rencana, program atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yang dianut, tetapi pada kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi suatu ideologi, yang paling penting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi dapat mempunyai rumusan yang amat ideal dengan ulasan yang amat logis  serta konsisten pada tahap nilai dasar dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika pada nilai praksisnya rumusan tersebut tidak dapat diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya.Bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi adalah menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah barang tentu jika konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak akan ada masalah. Masalah baru timbul jika terdapat inkonsisitensi dalam tiga tataran nilai tersebut.
            Untuk menjaga konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara, maka perlu Pancasila formal yang abstrak-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yang umum kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang khusus individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat dari subjek kelompok dan individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku dalam lingkungan praksisnya dalam bidang kenegaraan, politik, dan pribadi.
            Driyarkara menjelaskan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, dengan gambaran gerak transformasi Pancasila formal sebagai kategori tematis (berupa konsep, teori) menjadi kategori imperatif  (berupa norma-norma) dan kategori operatif  (berupa praktik hidup). Proses tranformasi berjalan tanpa masalah apabila tidak terjadi deviasi atau penyimpangan, yang berupa pengurangan, penambahan,dan penggantian (dalam Suwarno, 1993: 110- 111). Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara haruslah diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan dan ingin diwujudkan.
            Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah masalah yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: 2-3) mensinyalir, bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan yang mendasar dalam cara orang memahami dan menghayati Negara Pancasila dalam berbagai seginya. Kiranya tidak tepat membuat “sakral” dan taboo berbagai konsep dan pengertian, seakan-akan sudah jelas betul dan pasti benar, tuntas dan sempurna, sehingga tidak boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu membuat berbagai konsep dan pengertian menjadi statik, kaku dan tidak berkembang, dan mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin benar bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap dan abadi. Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten dalam tataran praksis perlu terus menerus diadakan  perubahan, baik dalam arti konseptual maupun operasional. Banyak hal harus ditinjau kembali dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan.
            Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan melalui sistem yang ada. Atau dengan kata lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila sebagai pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi dalam pengertian ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) untuk dapat berubah. Subjek sendiri yang berubah dari dalam. Mirip dengan teori A.N.Whitehead, setiap satuan aktual (sebagai aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan untuk berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yang dapat dipindahkan atau pohon yang dapat dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai realitas merupakan sumber daya untuk proses ke-menjadi-an yang selanjutnya. Jika dikaitkan dengan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan hukum dan perundang-undangan pada segala tingkatan, sebagai aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis menjadi kategori imperatif), harus terbuka terhadap peninjauan dan penilaian atau pengkajian tentang keterkaitan dengan nilai dasar Pancasila.
            Untuk melihat transformasi Pancasila menjadi norma hidup sehari-hari dalam bernegara orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yang berkaitan dengan negara, yang meliputi; wilayah, warganegara, dan pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan dengan bangsa Indonesia, yang meliputi; faktor-faktor integratif dan upaya untuk menciptakan persatuan Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-2, dan ke-5 yang berkaitan dengan hidup keagamaan, kemanusiaan dan sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126).

 

Perubahan dan Kebaharuan

Pembaharuan dan perubahan bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja, yaitu akibat yang timbul dari dalam, melainkan bisa terjadi karena pengaruh dari luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) dalam aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata disebabkan kemampuan dari dalam (potensi) dari Pancasila itu sendiri, melainkan suatu peristiwa yang terkait atau berrelasi dengan  realitas yang lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada aktivitas di dalam menyerap atau menerima dan menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur dari luar (asing). Contoh paling jelas dari terjadinya perubahan transformatif dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, adalah empat kali amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan MPR pada tahun 1999, 2000, 2001, dan tahun 2002.
            Akibat kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satupun bangsa dan negara mampu mengisolir diri dan menutup rapat dari pengaruh budaya asing. Demikian juga terhadap masalah ideologi. Dalam kaitan imi, M.Habib Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan, bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan menimbulkan kebimbangan, terutama didukung oleh kenyataan masuknya arus budaya asing dengan berbagai aspeknya. Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat dan luas. Kondisi ini di satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang mengikat kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini,  teknologi sebagai bagian budaya manusia telah jauh mempengaruhi tata kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, tidak mustahil tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang tidak selalu sejalan dengan tumbuhnya faham kebangsaan.Beberapa informasi dalam berbagai ragam bentuk dan isinya tidak dapat selalu diawasi atau dicegah begitu saja.Mengingkari dan tidak mau tahu “tawaran” atau pengaruh nilai-nilai asing merupakan kesesatan berpikir, yang seolah-olah menganggap bahwa ada eksistens yang bisa berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian oleh Whitehead disebut sebagai the fallacy of misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Jika pengaruh itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, atau tidak mendukung bagi terciptanya kondisi yang sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan sikap yang kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, ide-ide yang datang dari luar.
            Dalam konteks budaya, masalah pertemuan kebudayaan bukan masalah memfilter atau menyaring budaya asing, tetapi mengolah dan mengkreasi dalam interaksi dinamik sehingga tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik adalah sesuatu yang harus terus menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau ideologi-ideologi besar di dunia sekarang ini diperhatikan dengan seksama, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru dengan corak nilai, ajaran dan konsep kunci mengenai kehidupan yang memiliki perspektif baru. Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila harus mampu menghadapi pengaruh budaya asing, khususnya ilmu dan teknologi modern dan latar belakang filsafatnya yang berasal dari luar.
           
Prof. Notonagoro telah menemukan cara untuk memanfaatkan pengaruh dari luar tersebut, yaitu secara eklektif mengambil ilmu pengetahuan dan ajaran kefilsafatan dari luar tersebut, tetapi dengan melepaskan diri dari sistem filsafat yang bersangkutan dan selanjutnya diinkorporasikan dalam struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap pengaruh baru dari luar, maka Pancasila bersifat terbuka dengan syarat dilepaskan dari sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yang serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham dengan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan Pancasila sebagai struktur atau sistem yang terbuka dinamik, yang dapat menggarap apa yang datang dari luar, dalam arti luas, menjadi miliknya tanpa mengubah identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mempengaruhi  dan mengkreasi.
            Dinamika Pancasila dimungkinkan apabila ada daya refleksi yang mendalam dan keterbukaan yang matang untuk menyerap, menghargai, dan memilih nilai-nilai hidup yang tepat dan baik untuk menjadi pandangan hidup bangsa bagi kelestarian hidupnya di  masa mendatang. Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tersebut berdasar pada relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional dan pengembangan ideologi, bukan hanya Pancasila yang menyerap atau dipengaruhi oleh nilai-nilai asing, namun nilai-nilai Pancasila bisa ditawarkan dan berpengaruh, serta menyokong kepada kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14) menjelaskan, bahwa dinamika yang ada pada aktualisasi Pancasila memungkinkan bahwa Pancasila juga tampil sebagai alternatif untuk melandasi tata kehidupan internasional, baik untuk memberikan orientasi kepada negara-negara berkembang pada khususnya, maupun mewarnai pola komunikasi antar negara pada umumnya.
            Ideologi Pancasila bukanlah pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional dan kritis agar membuka iklim hidup yang bebas dan rasional pula. Konsekuensinya, bahwa Pancasila harus bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia dan tidak menutup diri terhadap nilai dan pemikiran dari luar yang memang diakui menunjukkan arti dan makna yang positif bagi pembinaan budaya bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses akulturasi sebagai gejala wajar. Dengan begitu ideologi Pancasila akan menunjukkan sifatnya yang dinamik, yaitu memiliki kesediaan untuk mengadakan pembaharuan yang berguna bagi perkembangan pribadi manusia dan masyarakat. Untuk menghadapi tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamik. Kreativitas dalam konteks ini dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyeleksi nilai-nilai baru dan mencari alternatif bagi pemecahan masalah-masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, dan pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila tidak a priori menolak bahan-bahan baru dan kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai yang dipertimbangkan dapat memperkaya dan memperkembangkan kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa Indonesia, sebagai pengemban ideeologi Pancasila, tidak defensif dan tertutup sehingga sesuatu yang berbau asing harus ditangkal dan dihindari karena dianggap bersifat negatif. Sebaliknya tidak diharapkan bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu amorf, sehingga segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima secara buta tanpa pedoman untuk menentukan mana yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk  diintegrasikan dalam pengembangan dirinya.
            Bangsa Indonesia mau tidak mau harus terlibat dalam dialog dengan bangsa-bangsa lain, namun tidak tenggelam dan hilang di dalamnya. Proses akulturasi tidak dapat dihindari. Bangsa Indonesia juga dituntut berperan aktif dalam pergaulan dunia.Bangsa Indonesia harus mampu ikut bermain dalam interaksi mondial dalam menentukan arah kehidupan manusia seluruhnya. Untuk bisa menjalankan peran itu,  bangsa Indonesia sendiri harus mempunyai kesatuan nilai yang menjadi keunikan bangsa, sehingga mampu memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam percaturan internasional. Identitas diri bukan sesuatu yang tertutup tetapi sesuatu yang terus dibentuk dalam interaksi dengan kelompok masyarakat bangsa, negara, manusia, sistem masyarakat dunia (Sastrapratedja, 1996: 3). Semuanya itu mengharuskan adanya strategi kebudayaan yang mampu neneruskan dan mengembangkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek kehidupan bangsa.
            Abdulkadir Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “strategi dialogi antar budaya” dalam menghadapi gejala penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya, membiarkan budaya asing yang  mengglobal berdampingan dengan budaya asli. Melalui interaksi yang terus menerus, masing-masing budaya akan  mendapatkan pelajaran yang berharga. Hasil akhir yang diharapkan dari interaksi itu adalah terpeliharanya cukup diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman universal. Ideologi Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia, selalu harus diperbaharui secara terus menerus, sehingga mampu memberikan pedoman, inspirasi, dan dukungan pada setiap anggota bangsa Indonesia dalam memperkembangkan dirinya sebagai bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yang sehat selalu bertitik tolak  pada masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi terwujudnya cita-cita di masa depan. Setiap zaman menampakkan corak kepribadiannya sendiri, namun kepribadian yang terbentuk  pada zaman yang berbeda haruslah mempunyai kesinambungan dari masa lampau sampai masa mendatang sehingga tergambarkan aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76). Kesinambungan tidak berarti hanya penggulangan atau pelestarian secara persis apa yang dihasilkan di masa lampau untuk diterapkan  pada masa kini dan masa mendatang. Unsur yang sama dan permanen maupun unsur yang kreatif dan baru, semuanya harus dirajut dalam satu kesatuan yang integral.
            Teori hilemorfisme dari Aristoteles bisa mendukung  pandangan tersebut. Aristoteles menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi nyata bila dibentuk (morfe), namun materi tidaklah pasif. Artinya ada gerak.  Setiap relitas yang sudah berbentuk (berdasar materi) dapat juga menjadi materi bagi bentuk yang lain,sehingga setiap realitas mengalami perubahan. Perubahan yang ada bukan kebaharuan sama sekali namun perubahan yang kesinambungan. Artinya, aktualitas yang ada sekarang berdasar pada realitas yang telah ada pada masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan di masa depan.
Proklamasi kemerdekaan merupakan norma yang pertama sebagai penjelmaan pertama dari segala sumber hukum yang menegaskan berdirinya indonesia yaitu pancasila yang merupakan jiwa dan pandangan hidup Bangsa Indonesia ,pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang memberikan tujuan ,dasar dan perangkat untuk mencapai tujuan. Pembukaan merupakan penjelmaan kedua dari pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum sekaligus merupakan pokok kaidah negara yang fundamental.,keduannya saling melengkapi dan tidak dapat di pisahkan satu sama lain.
Sifat hubungan antara pembukaan UUD 1945 dengan proklamasi adalah (1) memberikan penjelasan terhadap di laksanakannya Proklamasi 17 Agustus 1945, (2) memberikan pertanggungjawaban datau penegasan terhadap di laksanakannya Proklamasi 17 Agustus 1945 bahwa perjuangan gigih menegakkan hak kodrat dan hak moril akan kemerdekaan, (3) memberikan pertanggung jawaban terhadap di laksanakannya Proklamasi 17 Agustus 1945.
Proklamasi kemerdakaan tanpa pembukaan negara Indonesia yang merdeka tidak jelas tujuan dan dasarnya tetapi pembukaan saja tanpa Proklamasi  Kemerdekaan tujuan dan dasar Negara Indonesia tidak akan menjadi kenyataan .Transformasi pancasila yang di jelma dalam Proklamasi Kemerdekaan dan pembukaan lewat penjelasan umun UUD 1945,pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam UUD 1945 ialah pancasila.Kualitas nilai-nilai pancasila bersifat objektif dan subjektif .Nilai –nilai dasar pancasila yaitu : ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan yang bersifat universal, objektif artinya nilai tersebut dapat dipakai dan di akui oleh negara-negara lain walupun tentunya tidak di beri nama pancasila.

 

 

TRANSFORMASI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERNEGARA

Meskipun sila-sila pancasila tidak dapat dipisahkan tetapi dapat mentransformasi dalam pasal-pasal UUD 1945 pembentukan negara dalam menciptakan pasal-pasal yang merupakan  penuangan dari masing-masing sila ,sila itu di tetapkan dengan  mutlak .Sila ke -4 dengan tegas di tetapkan merupakan sila yang harus menjiwai pasal-pasal yang terkait dengan negara,seperti di ketahui unsur ialah wilayah,warga negara dan pemerintahan yang berdaulat .
Mengenai wilayah  negara pasal-pasal UUD tidak mengatur secara jelas ,ada dua pasal yang menyinggung secara implisit yaitu pertama ,pasal 1 ayat (1) menyatakan negara indonesia ialah negara kesatuan ,ini berarti wilayah negara indonesia akan merupakan kesatuan wilayah yang tidak terpecah menjadi wilayah-wilayah negara bagian. Kedua pasal 18 yang secara implisit menyebutkan wilayah indonesia dengan kata-kata :”Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil”,meskipun wilayah indonesia merupakan suatu kesatuan wilayah negara kesatuan ,tetapi terbagi dalam daerah-daerah besar kecil yang oleh penjelasan disebut Propinsi dan Daerah istimewah,tidak di cantumkan batas wilayah dalam pasal UUD itu dengan pertimbangan bahwa batas wilayah negara tidak di tentukan oleh satu negara tetapi harus di rundingkan dan di tetapkan dalam perjanjian internasional bersama negara-negara lain ,pertimbangan ini di tentukan oleh sila ke dua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Warga negara yang merupakan unsur kedua di atur oleh Bab X pasal 26,27,dan 28,dalam pasal-pasal ini di tetapkan siapa pun dapat menjadi warga negara indonesia asal memenuhi persyaratan yang di tentukan oleh Undang-Undang ,setiap warga negara juga memiliki hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,kemerdekaan berserikat ,mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan  juga terkandung dalam Undang –undang Sebagian besar dari pasal-pasal UUD. Sebagian besar dari pasal-pasal UUD 1945 di gunakan untuk mengatur pemerintahan yang berdaulat ,mulai pasal 1 sampai dengan pasal 26, pasal 37, di tambah aturan Peralihan dan aturan Tambahan, pemerintahan negara terdiri dari lembaga-lembaga negara yang berhubungan satu sama lain sehingga bersama-sama mewujudkan sistem pemerintahan yang mewujudkan aila ke-4 sebagai norma hukum ,lembaga-lembaga negara di ciptakan oleh pasal-pasal UUD 1945 Ialah MPR yang terdiri dari anggota –anggota DPR , di tambah dengan utusan daerah dan golongan-golongan yang di tetapkan dengan Undang- undang (pasal 2 ayat 1).MPR mempunyai wewenang melakukan kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat2)tetapi yang di lakukan MPR sendiri hanya menetapkan UUD dan garis besar haluan negara (GBHN) (pasal3),memilih presiden dan wakil presiden(pasal 6 ayat 2) ,MPR di  sebut sebagi lembaga negara tertinggi.DPR mempunyai wewenang mengajukan rancangan undang-undang (pasal 21) dan memberikan persetujuan undang-undang yang rencananya di ajukan oleh presiden (pasal 5 dan 20),menyetujui anggaran yang di usulkan oleh Pemerintah (pasal 23 ayat 1). Presiden memegang kekuasaan legislatif yang pelaksanaannya harus mendapatkan persetujuan DPR,untuk membentuk undang-undang dan penetapan anggaran pendapatan belanja negara, kekuasaan Presiden yang yang di tetapkan oleh pasal 10-15 merupakan konsekuensi dari jabatan Presiden sebagai kepala negara,para mentri yang  angkat dan di berhentikan oleh presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR tetapi bergantung kepada Presiden, mereka dalah pembantu presiden. Dalam menjalankan tugasnya lembaga-lembaga negara bekerja sama dan bergerak sebagai satu sistem pemerintahan yang bulat, sesuai dengan teori integralistik, maka lembaga-lembaga itu merupakan organ-organ dari satu sistem pemerintahan yang berusaha mewujudkan kesejahteraan rakyat indonesia baik material maupun moral.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TRANSFORMASI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA

Konsep bangsa yang di gunakan untuk merumuskan sila ke tiga terutama konsep E. Renan, yaitu sekelompok manusia yang mempunyai keingin bersama untuk bersatu dan mempertahankan persatuan. Pasal-pasal yang mengtransformasikan sila ke-3 itu orang harus mengingat unsur-unsur konsep bangsa dalam hal keinginan bersama untuk bersatu, dalam pasal 1 ayat (1) menegaskan  Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik, demikian juga pasal 30 ayat (1) menegaskan tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam  usaha membela negara,faktor-faktor penunjang dalam hal ini berupa pengajaran nasional, kebudayaan  nasional, bendera negara, dan bahasa negara, norma-norma itulah yang harus di ikuti agar orang-orang indonesia dapat hidup berbangasa sesuai dengan pancasila.Garis-garis yang di berikan oleh pasal-pasal UUD tentu dapat di kembangkan lebih lanjut dengan peraturan perundangan dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat indonesia,sehingga hidup berbangsa sesuai dengan Pancasila sungguh-sungguh dapat berkembang dalam indonesia modern.


 

 

 

 

 

 

 

TRANSFORMASI PANCASILA DALAM HIDUP BERMASYARAKAT

Hidup bermasyarakat ialah hidup bersama,kehidupan dapat di lihat dari beberapa segi, segi ekonomi menampakkan kegiatan berproduksi,pembagian dan penggunaan barang dan jasa,segi kehidupan politik menampakkan kekuasaan dalam masyarakat .Unsur-unsur sosial yang pokok adalah norma-norma atau kaidah sosial,lembaga-lembaga social kelompok-kelompok serta lapisan sosial,unsur-unsur itu terjalin antara satu sama lain dan keseluruhannya di sebut struktur sosial.
Pengaruh timbal balik antara segi-segi kehidupan di sebut proses sosial.dalam kehidupan bersama sila ke 1 mengatur hubungan negara dan agama. Dalam hubungan antar negara di tegaskan bahwa tidak ada agama negara tetapi negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa,pencipta itu adalah causa prima yang mempunyai hubungan dengan di ciptakannya,manusia sebagai makhluk yang di cipta wajib menjalankan perintah tuhan dan menjauhi larangannya, di harapkan negara memberikan iklim yang segar terhadap kehidupan agama di negara indonesia. Ayat (2) menegaskan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya,di bebaskan terhadap rakyat indonesia untuki memeluk agamnya sesuai dengan kepercayaannya, dalam berbeda agama di harapkan semua orang dapat menghormati dan saling memberikan keleluasaan untuk beribadat.
Kehidupan masyarakat dalam bidang sosial-ekonomi di atur dalam pasal 27 ayat(2), pasal 33 dan 34 ,setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak  bagi kemanusiaan ,norma ini mendapatkan penegasan pasal 34 yang menyatakan bahwa anak-anak dan fakir miskin yang terlantar di pelihara oleh negara. Dalam pasal 33 ayat (1) yang menegaskan bahwa perekonomian di susun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Akan tetapi dapat juga dengan usaha-usaha modern, sehingga usaha tersebut dapat di urus oleh kelompok-kelompok masyarakat yang kurang kuat dalam permodalan agar dapat di usahakan oleh masyarakat yang kuat permodalannya sehingga menjadi konglomerat yang menguasai cabang-cabang produksi.

 

 

 

 

NILAI-NILAI BUDAYA YANG DIMILKI BANGSA INDONESIA


 Nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.
Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsep-konsep abstrak yang hidup dalam masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga menjadi pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya terlihat dalam tata kelakuan. Dari sistem nilai budaya termasuk norma dan sikap yang dalam bentuk abstrak tercermin dalam cara berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam bentuk pola perilaku anggota-anggota suatu masyarakat.
Pada dasarnya budaya memiliki nilai-nilai yang senantiasa diwariskan, ditafsirkan dan dilaksanakan seiring dengan proses perubahan sosial kemasyarakatan. Pelaksanaan nilai-nilai budaya merupakan bukti legitimasi masyarakat terhadap budaya. Eksistensi budaya dan keragaman nilai-nilai luhur kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan sarana dalam membangun karakter warga negara, baik yang berhubungan dengan karakter privat maupun karakter publik.
Menurut Geertz (1992:5) kebudayaan adalah ‘pola dari pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam
simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan’. Pendapat ini menekankan bahwa kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang dapat mengembangkan sikap mereka terhadap kehidupan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses komunikasi dan belajar agar generasi yang diwariskan memiliki karakter yang tangguh dalam menjalankan kehidupan.
Namun seiring perkembangan zaman, eksistensi budaya dan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sampai saat ini belum optimal dalam upaya membangun karakter warga negara, bahkan setiap saat kita saksikan berbagai macam tindakan masyarakat yang berakibat pada kehancuran suatu bangsa yakni menurunnya perilaku sopan santun, menurunnya perilaku kejujuran, menurunnya rasa kebersamaan, dan menurunnya rasa gotong royong diantara anggota masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut menurut Lickona (1992:32) terdapat
10 tanda dari perilaku manusia yang menunjukan arah kehancuran suatu bangsa yaitu:
1) meningkatnya kekerasan dikalangan remaja
2) ketidak jujuran yang membudaya
3) semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru dan figur pemimpin
4) pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan;
5) meningkatnya kecurigaan dan kebencian,
6) penggunaan bahasa yang memburuk;
7) penurunan etos kerja;
8) menurunnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara;
9) meningginya perilaku merusak diri; dan
10) semakin kaburnya pedoman moral.
Pembangunan karakter bangsa melalui budaya lokal sangatlah dibutuhkan. Pembangunan karakter bangsa dapat ditempuh dengan cara mentransformasi nilai-nial budaya lokal sebagai salah satu sarana untuk membangun karakter bangsa. Pentingnya transformasi nilai-nilai budaya lokal sebagai salah satu sarana untuk membangun karakter bangsa adalah sebagai berikut:
1) Secara filosofis, pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah kebutuhan asasi dalam proses berbangsa karena hanya bangsa yang memiliki karakter dan jati diri yang kuat yang akan eksis;
2) Secara ideologis, pembangunan karakter merupakan upaya mengejewantahkan ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara normatif, pembangunan karakter bangsa merupakan wujud nyata langkah mencapai tujuan negara;
3) Secara historis, pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah dinamika inti proses kebangsaan yang terjadi tanpa henti dalam kurun sejarah, baik pada zaman penjajah, maupan pada zaman kemerdekaan;
4) Secara sosiokultural, pembangunan karakter bangsa merupakan suatu keharusan dari suatu bangsa yang multikultural (Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025:1).
      Berdasarkan hal tersebut di atas, pembangunan karakter bangsa melibatkan berbagai pihak baik keluarga, lingkungan sekolah, serta masyarakat luas. Pembangunan karakter bangsa tidak akan berhasil selama pihak-pihak yang berkompeten untuk menunjang pembangunan karakter tersebut tidak saling bekerja sama. Oleh karena itu, pembangunan karakter bangsa perlu dilakukan di luar sekolah atau pada masyarakat secara umum sesuai dengan kearifan budaya lokal masing-masing. Hal yang sama disampaikan oleh Eddy (2009:5) bahwa “pelestarian kebudayaan daerah dan pengembangan kebudayaan nasional melalui pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal, dengan mengaktifkan kembali segenap wadah dan kegiatan pendidikan”
karakter bangsa dengan cara mentransformasi nilai-nilai budaya lokal yaitu budaya gotong royong (Huyula). Sebagai sarana untuk bekerja sama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan demi kepentingan umum. Huyula merupakan suatu sistem gotong royong atau tolong menolong antara anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama yang didasarkan pada solidaritas sosial. Hal ini tercermin dalam kegiatan yang dilaksanakan secara bersama oleh seluruh anggota masyarakat seperti halnya dalam kegiatan kekeluargaan ataupun kegiatan pertanian.
Tetapi, dengan hadirnya globalisasi yang kurang terfilterisasi dengan baik menyebabkan budaya Huyula sedikit demi sedikit hilang. Menurut Laliyo (Mohammad, 2005:366-367) hadirnya globalisasi kearifan semakin termarjinalkan, hal ini nampak pada perilaku masyarakat yang sudah mulai mengabaikan budaya Huyula yang dulu pernah dipraktekkan oleh leluhur.
Berdasarkan kondisi di atas, maka pembangunan karakter bangsa melalui budaya lokal sangatlah penting. Oleh karena itu, penyusun tertarik untuk melakukan kajian tentang penelitian tesis dengan tema transformasi nilai-nilai budaya lokal sebagai upaya pembangunan karakter bangsa.
Penelitian ini merupakan sebuah usaha untuk mengkaji dan menemukan formula baru tentang budaya Huyula agar tetap bertahan di tengah-tengah terpaan arus globalisasi dan informasi. Formula yang dimaksudkan adalah mengkondisikan budaya Huyula sesuai dengan konteks kekinian tanpa menghilangkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya khususnya Huyula. Untuk itu, masalah pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana proses transformasi nilai-nilai budaya Huyula sebagai upaya pembangunan karakter bangsa.

Persepsi Masyarakat Terhadap Transformasi Nilai-Nilai Budaya Huyula Kaitannya terhadap Upaya Pembangunan Karakter Bangsa

Menurut informan transformasi nilai-nilai budaya Huyula adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga pendidikan dalam menurunkan atau memindahkan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Huyula ke diri individu atau masyarakat agar masyarakat dapat melaksanakan nilai-nilai kebaikan sebagaimana terkandung dalam Huyula tersebut. Hal ini senada dengan pernyataan Kuntowijoyo. Menurut Kuntowijoyo (2006:56) transformasi adalah konsep ilmiah atau alat analisis untuk memahami dunia. Karena dengan memahami perubahan setidaknya dua kondisi/keadaan yang dapat diketahui yakni keadaan pra perubahan dan keadaan pasca perubahan. Transformasi merupakan usaha yang dilakukan untuk melestarikan budaya lokal agar budaya lokal tetap bertahan dan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya agar mereka memiliki karakter yang tangguh sesuai dengan karakter yang disiratkan oleh ideologi Pancasila. Karakter ini dapat terwujud jika masyarakat terbiasa mentransformasi nilai-nilai yang terdapat dalam budaya.
Transformasi nilai adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan untuk tetap melestarikan atau mengembangkan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya agar budaya tersebut dapat menjawab kompleksitas permasalahan yang dialami oleh mansyarakat. Dengan adanya transformasi nilai ini masyarakat dapat mengetahui nilai-nilai yang menjadi acuan dalam hidup agar mereka dapat menyesuaikan dengan perkembangan yang ada tanpa melupakan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam budaya lokalnya.
Transformasi nilai menurut Hoffman (Hakam, 2007:156) yaitu proses internalisasi sebagai transisi dari orientasi eksternal ke orientasi internal dalam perkembangan nilai dan moral, internalisasi yang awalnya eksternal 72 ISSN 1412-565 X.
Atau berdasarkan norma dan nilai budaya masyarakat berarti telah terjadi pergeseran dari orientasi eksternal menuju orientasi diri sendiri dalam memotivasi tindakan seseorang. Sejalan dengan pernyataan ini sebagaimana tedapat dalam teori moral sosialication dari Hoffman (Hakam, 2007:131-132) bahwa perkembangan nilai dan moral mengutamakan pemindahan (transmisi) nilai dan moral dari budaya masyarakat kepada anak agar anak tersebut kelak menjadi anggota masyarakat yang memahami nilai dan norma yang terdapat dalam budaya masyarakat.
Kaitannya dengan penjelasan di atas, maka eksistensi Huyula dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya agar dapat menjadi perilaku atau karakter anak atau masyarakat maka langkah yang harus ditempuh adalah mentransformasi nilai-nilai budaya Huyula

Faktor-Faktor Penunjang dan Tantangannya dalam Proses Transformasi Nilai-Nilai Budaya Huyula sebagai Upaya Pembangunan Karakter Bangsa

Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor penunjang dalam proses transformasi nilai-nilai budaya Huyula sebagai upaya pembagunan karakter bangsa yakni faktor masyarakat, agama yang dianut yaitu agama Islam, sosial kapital masyarakat dan faktor identitas/jati diri masyarakat. Sedangkan tantangannya yakni adanya pengaruh globalisasi yang kurang difilter dengan baik, ketidak seriusan masyarakat dalam melestarikan Huyula, kurang efektifnya lembaga pendidikan, dan kurangnya pemahaman pemerintah terhadap Huyula.

Faktor Penunjang Proses Transformasi

Faktor penunjang dalam proses transforamsi nilai-nilai budaya Huyula yaitu; Pertama, sosial kapital. Sosial kapital merupakan modal masyarakat yang terbangun dari zaman dahulu sampai sekarang serta memiliki akar sejarah tersendiri bagi masyarakat Ada institusi yang dikategorikan sebagai sosial kapital masyarakat dalam melestarikan budaya Huyula. Institusi atau pranata tersebut adalah Bantayo Poboide (Dewan Rakyat). Dulu Bantayo Poboide digunakan sebagai penentu kegiatan-kegiatan masyarakat yang berhubungan dengan budaya, ekonomi, politik, pemerintahan serta sebagai wadah dalam pembuatan aturan tentang adat dan budaya. Sehubungan dengan hal ini menurut Koentjaraningrat (1985:17) dalam aktivitas masyarakat ada pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaran atau kehidupan bernegara, ialah political institusions. Seperti pemerintahan pemerintahan, demokrasi dan sebagainya.
Sekarang Bantayo Poboide dijadikan sebagai rumah adat berfungsi sebagai simbolisasi adat dan budaya serta sebagai sarana untuk melaksanakan kegiatan adat dan budaya baik yang berhubungan dengan festival kesenian dan pelestarian arsip-arsip budaya serta kegiatan lainnya. Sehubungan dengan hal ini menurut Wulansari (2009:94) fungsi pranata sosial memberikan pedoman pada setiap anggota masyarakat, bagaimana mereka harus berbuat, bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi setiap masalah-masalah yang terdapat di dalam masyarakat terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Artinya walaupun Bantayo Poboide dilihat dari segi fungsinya tidak seperti dulu lagi, namun dalam melaksanakan aktivitas adat dan budaya masyarakat masih menjadikan lembaga ini sebagai sarana pelestarian budaya.

Pada saat sekarang Hileiya masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat walaupun dalam bentuk pengorganisasian kegiatannya tidak seperti dulu. Di zaman dahulu kegiatan Hileiya dilaksanakan secara spontanitas dan masyarakat langsung datang secara perorangan di rumah kedukaan dengan membawa uang, makanan atau bantuan lainnya. Tapi di era sekarang Hileiya dilaksanakan oleh anggota PKK yang dalam pelaksanaannya, anggota tersebut terkadang tidak menghadiri langsung, dan hanya menitipkan uang atau bantuan lainnya pada anggota PKK yang berkenan hadir pada Hileiya tersebut.
Faktor penunjang kedua, dalam proses transformasi nilai-nilai budaya Huyula yaitu adanya identitas sosial/jati diri. Adapun identitas sosial yang di miliki oleh masyarakat yaitu terdapatnya satu suku, kondisi ini mempermudah relasi, komunikasi antara masyarakat yang satu dengan yang lain karena telah terbangun basis kebersamaan kesukuan. Pada level ini proses transformasi nilai-nilai budaya Huyula tidak mendapat hambatan. Artinya kegiatan Huyula dalam konteks Ti’ayo merupakan satu kebiasaan masyarakat pertanian. Jauh sebelum kebiasaan berhuyula dilaksanakan dalam bentuk Ambu dan Hileiya sesungguhnya pelaksanaan Huyula pertama kalinya dilaksanakan oleh masyarakat pertanian. Mengingat begitu pentingnya pula kebutuhan-kebutuhan lain seperti Ambu dan Hileiya maka Huyula dilaksanakan dalam kegiatan tersebut. Satu-satunya budaya khususnya budaya dalam wujud aktivitas masyarakat yaitu budaya Huyula. Hal yang sama disampaikan oleh Daulima (2004:82) bahwa pada sistem ekonomi peninggalan leluhur terdapat kegiatan-kegiatan sosial baik yang terkoordinir maupun suka rela. Kegaiatan tersebut adalah Huyula.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tantangan dalam Proses Transformasi

Tantangan dalam proses transformasi nilai-nilai budaya Huyula sebagai upaya pembangunan karakter bangsa di Indonesia  adalah sebagai berikut:
Pertama, adanya pengaruh globalisasi. Globalisasi mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat termasuk dintaranya aspek budaya. Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu ke seluruh dunia. Kontak melalui media menggantikan fisik sebagai sarana utama komunikasi antar bangsa. Kondisi ini mengakibatkan komunikasi antar bangsa lebih mudah dilakukan dan hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan. Dalam teori dependensi dari Qordoso et al (Syam, 2009-344) bahwa globalisasi dalam arti yang negatif adalah bila yang terjadi bukan heterogenitas melainkan homogenisasi budaya dan gaya hidup dengan menempatkan nilai-nilai universal menjadi tereduksi oleh suatu kepentingan kekuatan

Dalam sistem nilai budaya Indonesia, gotong royong mengandung 4 konsep : Pertama, Manusia tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh komunitasnya, masyrakatnya dan alam semesta sekitarnya. Kedua, Dalam segala aspek kehidupan manusia pada hakekatnya tergantung terhadap sesamanya. Ketiga, Memelihara hubungan baik dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama-rata sama-rasa. Keempat, Selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat sama dan bersama dengan sesamanya.
Seluruh konsep tersebut memberikan sifat ketergantungan kepada sesama, dimana hal tersebut menciptakan suatu rasa keamanan nurani yang sangat dalam. Gotong royong merupakan kunci budaya kontemporer Indonesia, yang menggambarkan masyarakat di dalamnya dan semua kebijakan yang diambil dalam kehidupan bermasyarakat harus berdasarkan konsep gotong royong (Bowen 1986, 545).
Abdurrahaman Wahid mengatakan bahwa masyarakat bangsa Indonesia itu memiliki nilai sesuatu yang berwujud pencarian yang tak berkesudahan akan sebuah perbahan sosial tanpa memutuskan sama sekali dengan ikatan masa lampau (Wahid 1981, 7). Masyarakat bangsa Indonesia selalu mengikuti pergerakan perubahan sosial menurut perkembangan zaman. Hal tersebut menjadikan masyarakat itu lupa akan jati dirinya sendiri, tetapi mereka tidak memutuskan ikatan dengan sejarah masa lalu. Masyarakat bangsa Indonesia selalu mencari sesuatu yang baru, tetapi tidak melupakan konsep nilai budaya dan identitas nasionalmya.
Budaya khas lain yang dimiliki masyrakat bangsa Indonesia adalah negara dan ideologi agama yang mengakar di lapisan masyarakat saling tumpang tindih. Hal tersebut menjadi sangat sulit dibedakan. Indonesia merupakan contoh yang hebat dari adanya kesesuaian Islam (ideologi agama) dengan demokrasi (Wahid, 2001). Walaupun masyrakat Indonesia mayoritas beragama Islam tetapi Indonesia bukan merupakan negara dengan pemerintahan yang bersifat teokrasi. Masyarakat Indonesia menyetujui adanya nilai-nilai agama dan nilai-nilai patriotik, dan hal tersebut dijadikan dasar pembentukan negara Indonesia. Pada era reformasi peluang berpolitik semakin terbuka lebar, namun peran agama disini harus hilang sebagai adanya sikap toleransi. Sekalipun agama memainkan peran penting dalam nilai-nilai bermasyarakat tetapi arena politik harus sejalan dengan sebagai mana mestinya politik (Wahid, 2001).
Sebagai syarat mutlak kebudayaan bangsa Indonesia dapat didukung oleh seluruh masyarakat nasional, maka harus mempunyai sifat yang khas dan harus dapat dibanggakan. Dan unsur dari kebudayan tersebut harus dapat memberikan identittas kepada masyarakat Indonesia itu sendiri. Sehingga dapat menimbulkan rasa bangga. Oleh karena itu, kebudayaan tersebut harus bermutu tinggi. Berarti tiap hasil karya putera-puteri bangsa Indonesia dari suku atau bangsa mana saja asalnya, yang bersifat khas bangsa Indonesia dan bermutu baik, dan apabila masyrakat Indonesia bangga akan hasil karya tersebut, maka hal itu dapat dijadikan sebagai Kebudayaan nasional Indonesia.

 

 

 

 

Orientasi Nilai Budaya

            Kluckhohn   dalam   Pelly   (1994)   mengemukakan   bahwa   nilai   budaya merupakan  sebuah  konsep  beruanglingkup  luas  yang  hidup  dalam  alam  fikiran sebahagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup. Rangkaian konsep itu satu sama lain saling berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilai – nilai budaya.
Secara  fungsional  sistem  nilai  ini  mendorong  individu  untuk  berperilaku seperti  apa  yang  ditentukan.  Mereka  percaya,  bahwa  hanya  dengan  berperilaku seperti itu mereka akan berhasil (Kahl, dalam Pelly:1994). Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah merupakan tujuan hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem nilai manusia tidaklah mudah, dibutuhkan waktu. Sebab, nilai – nilai tersebut merupakan  wujud  ideal  dari  lingkungan  sosialnya.  Dapat  pula  dikatakan  bahwa sistem   nilai   budaya   suatu   masyarakat   merupakan   wujud   konsepsional   dari kebudayaan mereka, yang seolah – olah berada diluar dan di atas para individu warga masyarakat itu.
Ada lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan yang dapat ditemukan secara universal. Menurut Kluckhohn dalam Pelly (1994) kelima masalah pokok tersebut adalah: (1) masalah hakekat hidup, (2) hakekat kerja atau karya manusia, (3) hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan (5) hakekat dari hubungan manusia dengan manusia sesamanya.
Berbagai   kebudayaan   mengkonsepsikan   masalah   universal   ini   dengan berbagai  variasi  yang  berbeda  –  beda.  Seperti  masalah  pertama,  yaitu  mengenai hakekat hidup manusia. Dalam banyak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Budha misalnya, menganggap hidup itu buruk dan menyedihkan. Oleh karena itu pola kehidupan masyarakatnya berusaha untuk memadamkan hidup itu guna mendapatkan   nirwana,   dan   mengenyampingkan   segala   tindakan   yang   dapat menambah rangkaian hidup kembali (samsara) (Koentjaraningrat, 1986:10). Pandangan  seperti  ini  sangat  mempengaruhi  wawasan  dan  makna  kehidupan  itu secara keseluruhan. Sebaliknya banyak kebudayaan yang berpendapat bahwa hidup itu baik. Tentu konsep – konsep kebudayaan yang berbeda ini berpengaruh pula pada sikap dan wawasan mereka.
Masalah kedua mengenai hakekat kerja atau karya dalam kehidupan. Ada kebudayaan yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk kelangsungan hidup (survive) semata. Kelompok ini kurang tertarik kepada kerja keras. Akan tetapi ada juga yang menganggap kerja untuk mendapatkan status, jabatan dan kehormatan. Namun, ada yang berpendapat bahwa kerja untuk mempertinggi prestasi. Mereka ini berorientasi kepada prestasi bukan kepada status.
Masalah ketiga mengenai orientasi manusia terhadap waktu. Ada budaya yang memandang penting masa lampau, tetapi ada yang melihat masa kini sebagai focus usaha dalam perjuangannya. Sebaliknya ada yang jauh melihat kedepan. Pandangan yang berbeda dalam dimensi waktu ini sangat mempengaruhi perencanaan hidup masyarakatnya.
Masalah keempat berkaitan dengan kedudukan fungsional manusia terhadap alam. Ada yang percaya bahwa alam itu dahsyat dan mengenai kehidupan manusia. Sebaliknya ada yang menganggap alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dikuasai manusia. Akan tetapi, ada juga kebudayaan ingin mencari harmoni dan keselarasan dengan alam. Cara pandang ini akan berpengaruh terhadap pola aktivitas masyarakatnya.
Masalah kelima menyangkut hubungan antar manusia. Dalam banyak kebudayaan hubungan ini tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara bermusyawarah, mengambil keputusan dan bertindak. Kebudayaan yang menekankan hubungan horizontal (koleteral) antar individu, cenderung untuk mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian seperti terlihat dalam masyarakat – masyarakat eligaterian. Sebaliknya kebudayaan yang menekankan hubungan vertical cenderung untuk mengembangkan orientasi keatas (kepada senioritas, penguasa atau pemimpin). Orientasi ini banyak terdapat dalam masyarakat paternalistic (kebapaan). Tentu saja pandangan ini sangat mempengaruhi proses dinamika dan mobilitas social masyarakatnya.

BAB III

PENUTUP


Kita telah mengetahui bahwa nilai pancasila sangatlah penting bagi warga negara Indonesia. Nilai pancasila juga merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan negara Republik Indonesia. Maka manusia Indonesia menjadikan pengamalan Pancasila sebagai perjuangan utama dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan kengaraan. Oleh karena itu pengalamannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi pengalaman Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik dipusat maupun di daerah.






 

 

 

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA


www.unair.ac.id/2-4-2014

No comments:

Post a Comment